Jumat, 30 Maret 2012

KAJIAN SEMIOTIK DRAMA ORKES MADUN I MADEKUR DAN TARKENI KARYA ARIFIN C. NOER

By : Hikhmah Oky Pravitasari
12 Maret 2012


A.    PENGANTAR
        Kata “drama” berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, beraksi, dan sebagainya. Ada beberapa pengertian yang dirumuskan oleh banyak ahli di bidang drama. Menurut Aristoteles, drama adalah tiruan (imitasi) dari action. Menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented action). Menurut Ferdinand Brunetierre, drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak. Menurut Dietrich, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas di hadapan penonton (audience). Sedangkan Nadjid (2009:18) mendefinisikan drama sebagai karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog para tokoh. Dalam makalah ini akan dibahas kajian semiotik dalam drama Orkes Madun 1 madekur dan Tarkeni.
        Naskah drama Orkes Madun Karya Arifien C. Noer ini merupakan caturlogi dari naskah drama Madekur dan Tarkeni, Umang-umang, Sandek Pemuda Pekerja, dan Ozone. Semula naskah drama Orkes Madun dinyatakan dalam bentuk trikologi, namun seiring waktu naskah drama Orkes Madun menjadi pentalogi dengan naskah kelima yang berjudul Magma. Sayangnya sebelum Magma terwujud dalam bentuk naskah jadi, Arifien C. Noer meninggal.
        Arifin C. Noer--nama lengkapnya Arifin Chairin Noer adalah dramawan, penulis sajak, penulis skenario, serta sutradara film dan sinetron. Ia dilahirkan di kota Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995. Ia mulai menulis sejak duduk di bangku SMA di kota Solo akhir tahun 1950-an. Karya-karyanya tersebar di berbagai penerbitan, surat kabar, dan majalah, antara lain, Indonesia, Sastra, Gelora, Basis, Suara Muhammadiyah, dan Horison. Mula-mula tulisannya berupa sajak curahan perasaan cintanya kepada seorang gadis, Nurul Aini (1963), yang kemudian ternyata menjadi istrinya. Demikian pula naskah lakon yang ditulisnya, misalnya "Prita Istri Kita" (1967) yang kemudian dipersembahkan sebagai mas kawinnya. Kemudian, Arifin menulis sajak dan naskah lakon yang sangat religius, humanis, sosial, dan absurd. Ia juga menulis skenario film dan sinetron serta kritik dan esai drama dan seni pentas yang lain.
      Buku kumpulan sajaknya adalah (1) Nurul Aini (1963), (2) Siti Aisah (1964), (3) Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967), (4) Selamat Pagi, Jajang (1979), dan (5) Nyanyian Sepi (1995). Buku dramanya adalah (1) Lampu Neon (1960), (2) Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), (3) Nenek Tertjinta (1963), (4) Prita Istri Kita (1967), (5) Mega-Mega (1967), (6) Sepasang Pengantin (1968), (7) Kapai-Kapai (1970), (8) Sumur Tanpa Dasar (1971), (9) Kasir Kita (1972), (10) Tengul (1973), (11) Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni (1974), (12) Umang-Umang (1976), (13) Sondek, Pemuda Pekerja (1979), (14) Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984), (15) Ari-Ari atawa Interograsi II (1986), dan (16) Ozon atawa Orkes Madun IV (1989).
B.     Kajian Semiotik
        Pada analisis naskah drama Orkes Madun ini menggunakan kajian simbolisme dengan teori semiotik sebagai kerangka berfikir. Kajian simbolisme digunakan dengan pertimbangan kehidupan manusia tidak lepas dari perangkat simbolisme, sebab manusia adalah animal symbolicum.
        Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.
          Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg, 1984:44). Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaiutu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).
        Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri wacana yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119).
       ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.
        Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya).
Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian strukturalisme.
C.    Pendekatan Semiotik “melati putih” dalam naskah drama Orkes Madun Madekur Tarkeni karya Arifin C Noer
       Dalam naskah Drama Orkes Madun Madekur Tarkeni, Arifin C Noer ingin menceritakan sebuah kisah tentang tokoh utama yang bernama Madekur dan Tarkeni. Adapun yang pertama adalah simbol dan makna dalam naskah drama Madekur dan tarkeni meliputi Semar, melati hitam dan melati putih, Gurem, Borok, bulan, dan keranda. Disini saya akan membahas tentang kajian semiotik “melati putih” dalam naskah drama Orkes Madun Madekur Tarkeni. Fungsi simbol pada naskah drama Orkes Madun adalah merangsang daya imajinasi pembaca.
        Bunga Melati lambang kesucian nan sederhana apalagi dengan warna putih dan bau harumnya. Karenanya bunga Melati sering dikaitkan dengan berbagai tradisi di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan salah satu spesiesnya yakni Melati Putih ditetapkan sebagai puspa bangsa, satu dari tiga bunga nasional Indonesia.
       Melati merupakan sekumpulan tanaman perdu yang dikelompokkan dalam gebus Jasminum. Bunga berbau harum yang menjadi lambang kesucian dan kemurnian ini terdiri atas lebih dari 200-an jenis yang tersebar di seluruh dunia. Beberapa jenis diantaranya telah dibudidayakan manusia.
        Tanaman dengan aroma wangi dan menjadi lambang kesucian dan kepercayaan pada pasangan ini berasal dari Asia Selatan dan tersebar hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tiap spesies memiliki habitat yang berbeda, namun secara umum melati menyukai habitat beriklim tropis pada daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.600 meter dpl.
       Bunga melati mempunyai berbagai manfaat mulai sebagai bunga tabur, bahan pembuatan minyak wangi, kosmetika, farmasi, karangan bunga, campuran teh hingga menjadi tanaman obat. Selain itu bunga melati juga sering menjadi alat pelengkap berbagai tradisi yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia seperti dalam upacara perkawinan. Eratnya berbagai tradisi di nusantara yang berkaitan dengan bunga melati tidak terlepas dari makna filosofis bunga melati yang melambangkan kesederhanaan. Ini terlihat dari sosok tanaman melati yang sederhana, tumbuh meliar dan mempunyai bunga yang kecil seakan melambangkan kesederhaan.
      Warnanya yang putih bersih serta tidak mencolok, bunga ini melambangkan kesucian dan keelokan budi. Bunga Melati mengeluarkan aroma harum yang lembut dan tidak menusuk hidung memberikan makna dan kesan lembut, nyaman, dan tenang. Di samping itu, tumbuhan ini dapat tumbuh dengan mudah tanpa membutuhkan perawatan yang rumit dan berbunga sepanjang tahun.
Dalam orkes madun 1 terjadi perdebatan tentang mawar putih dan mawar hitam. Kutipannya sebagai berikut.
Nah, biarkanlah saya mengumpamakan persoalan ini dengan dua tangkai bunga melati dan seorang gadis delapan tahun. Yang setangkai berwarna putih, sedang setangkai lagi berwarna hitam. Mula-mula sudah jelas gadis itu merasa heran dan sangat lama bertanya dalam hati kenapa ada setangkai bunga melati yang berwarna hitam, sekalipun sebelumnya dia tidak pernah merasa heran bertanya dalam hati ketika pertama kalinya ia melihat bunga melati berwarna putih.
Begitulah seperti yang saya bilang tadi bahwa gadis itu lama bertanya dalam hati, lama merasa heran. Tapi heran yang lama. Kemudian menjelma menjadi takjub dan akhirnya hati gadis itu tertarik ingin melati yang hitam. Begitulah ketika jari-jarinya yang lembut bergetar oleh kekaguman siap mematahkan melati hitam dari tangkainya, gadis itu tiba-tiba ingat bahwa rambutnya juga berwarna hitam. Selain itu ia juga ingat tidak seorang pun di Jatibarang yang menghias rambutnya dengan melati hitam, bahkan sekalipun perempuan yang ebrambut putih seperti neneknya.

AYAH & AYAH
Sebentar, sebentar. Lebih baik kamu singkatkan saja bicaramu. Bagaimana?

IBU & IBU
Kamu sendiri bagaimana? Kamu akan memetik melati putih atau melati hitam?

AYAH & AYAH
Seperti umumnya orang saya amemetik melati putih yang sudah pasti keindahannya.

IBU & IBU
Tapi kamu tidak tahu bahwa melatih hitam itu mempunyai warna putih di sebelah dalam dan malah di dalamnya ada sebutir berlian sebesar geraham saya yang tanggal beberapa tahun lalu

AYAH & AYAH
Mana mungkin! Lagi kamu tidak mengatakan hal itu sebelumnya.

IBU & IBU
Karena melati hitam itu belum jelas maka kemungkinannya tentu lebih luas.

MAD & TAR
Juga melati hitam telah saya petik ketika ayah memetik yang putih

AYAH & AYAH
Tidak bisa. Saya belum memetik, baru berniat memetik dan sekarang saya akan memetik melati yang hitam

MAD & TAR
Tidak bisa, yang hitam telah saya petik

AYAH & AYAH
Tidak bisa, yang hitam milik saya

MAD & TAR
Tidak bisa, luar bisaa harumnya

AYAH & AYAH
Ya Tuhan harumnya

AYAH &AYAH
Kurang ajar. Lepaskan melati itu

MAD & TAR
Ya Tuhan, harumnya

AYAH & AYAH
Lepaskan, bajingan.

MAD & TAR
Harumnya

AYAH &AYAH
Bajingan

IBU & IBU
Begitulah, siapapun pasti akan memilih yang terbaik. Tapi tahukah bahwa yang terbaik adalah melati putih?

MAD & TAR
Kalau begitu biarlah yang hitam untuk bapak.

AYAH & AYAH
Kamu jangan kurang ajar, nak. Melati putih itu telah saya petik.

MAD & TAR
Mana mungkin, padahal bapak baru saja berniat akan memetiknya. Tidak, pak. Biarlah yang putih buat saya.

AYAH & AYAH
Nak, golok di dapur Cuma sebilah dan itu milik saya

MAD & TAR
Biarlah bapak mengambil golok dan saya memetik melati putih

SANGAT TIBA-TIBA SEKALI, AYAH DAN AYAH MENGHUNUS GOLOK ITU DAN SIAP AKAN MEMANCUNG KEPALA MAD & TAR DAN IBU & IBU MENJERIT

IBU & IBU
Saya lupa memberitahu bahwa yang putih ada dua tangkai dan kesimpulannya kalian berdua sama-sama bersikeras menghendaki yang terbaik (Mendekati anaknya) nak, kamu ingin senang, bukan?

MAD & TAR
Senang sekali, bu.

       Dari naskah drama di atas antara ibu-ibu, ayah-ayah dan Madekur dan Tarkeni terjadi perdebatan dan saling memutuskan untuk memetik melati lebih dahulu. Pertama ayah-ayah dan ibu-ibu saling berebut untuk melatih putih, karena kita tahu bahwa putih melambangkan kesucian. Tetapi setelah ibu berargumen bahwa melati hitampun juga memiliki warna putih di dalamnya. Ayah-ayah menginginkan melati hitam. Ini artinya bahwa melati hitam melambangkan keburukan tetapi ada filosofi lain yang terdapat warna putih di dalam hitam. Sehingga dapat diartikan bahwa lambang putih disini mempunyai arti, meskipun luarnya buruk tetapi dalamnya baik. Tetapi ketika Tarkeni dan Madekur meminta untuk memetik melati putih karena yang hitam sudah dipetik ayah-ayah. Ayah-ayah tidak terima dan menginginkan melati putih kembali.
       Disini kita tahu bahwa Tarkeni dan Madekur sendiri menginginkan melati yang putih. Melati putih disini melambangkan bahwa putih berarti ketulusan dan kesetiaan antara Madekur dan Tarkeni. Diceritakan pula bahwa cinta tulus mereka terbawa sampai akhir hayatnya. Meskipun masa lalu keduanya kelam. Tetapi antara Madekur dan Tarkeni terjalin hubungan yang tulus dan setia. Jadi kesimpulannya bahwa makna melati putih disini adalah kesetiaan Madekur dan Tarkeni.










DAFTAR PUSTAKA
Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Pradopo, Rachmad Djoko. 1990. Beberapa Gagasan dalam Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar