Minggu, 29 April 2012

I Can See



I can see you there
I can hear your voice
I can feel it
Where??
Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
Hhhhhhhhhhhhhhhhhh
Hhhhhhhhhhh
Hhhhhh
Hhhhhhhhhhh
Hhhhhhhhhhhhhhhhhh
Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
T_T

Menikah Yukzz

Menikah Yukzz...
By: Hiory
Umur 20an adalah masa-masa beranjak dewasa. Dimana disini adalah masa-masa yang labil, masa-masa kegalauan yang dirasakan setian wanita maupun pria. Karena umur 20an adalah masa dimana seseorang membutuhkan sesosok pendamping hidup. Nah loh jangan manggut-manggut dulu, makanya menikah muda itu wajib!! Menikah yukss..Tanpa tawar, karena dengan menikah kita bisa terjaga dari berbagai fitnah di dunia. Disaat kita ingin berbagi suka maupun duka ada seseorang yang mendampingi kita, kita tidak sendiri lagi dalam menjalani kamus kehidupan, ketika kita tertimpa masalah kita bisa sharing dengan suami maupun istri tercinta kita. Tidak ada lagi kata GALAU yang sering kita update di status facebook. Jika kita mencintai seseorang tetapi kita tidak bisa memilikinya, hendaknya kita Ikhlas karena Allah SWT pasti mempunyai rencananya sendiri untuk menuntut jalan kita. Allah berfirman:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui,” firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 216.

Dari pengalaman yang saya ikuti dalam Sekolah Pra Nikah (Rumah Keluarga Indonesia) oleh Ustadz Musbihin Sahal, Lc.MA, dalam pertemuan pertama ada bahasan mengenai naluri manusia.
  1. Naluri mempertahankan diri
  2. Naluri melangsungkan keturunan
Naluri mempertahankan diri  (Gharizatul Baqa). Penampakanya mendorong manusia untuk melaksanakan berbagai aktivitas dalam rangka melestarikan kelangsungan hidup. Berdasarkan hal ini maka pada diri manusia ada rasa takut, keinginan menguasai, cinta pada bangsa dan lain-lain. Adanya naluri ini telah diisyaratkan dalam Al-Quran. Allah SWT ber firman : 

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagai bagian dari  apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri, lalu mereka menguasainya ?” (QS Yaasin : 71) 

Naluri melangsungkan keturunan  (Gharizatun nau”). Penampakanya akan mendorong manusia melangsungkan jenis manusia. Sebagai penampakan dari naluri ini,  manusia memiliki kecenderungan seksual, rasa kebapakkan, rasa keibuan, cinta pada anak2, cinta pada orang tua, cinta pada orang lain dan lain-lain. Adanya naluri ini telah banyak diisyaratkan dalam Al-Quran. Contohnya rasa suka terhadap lawan jenis, semua orang pasti pernah mengalami jatuh cinta. Jika cinta itu tak dapat berbalas, pasti akan menyakitkan bagi keduanya, dan akhirnya frustasi dan mencoba melarikan dri dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangn dengan norma-norma agama. Jangan sampai kita merugi hidup di dunia ini hanya karena cinta sesaat. Bukankah sunnah Rosul “menikah” adalah sesuatu yang indah yaitu menyatukan dua orang yang berbeda jenis demi menbangun sebuah keluarga yang Sakinah, mawadah, dan warahma J tinggal bagaimana kita bertemu dengan jodoh kita. Mudah-mudahan berjodoh dunia dan akhirat, jika kita tidak berjodoh di dunia Insya Allah, Allah akan mempertemukan kita di akhirat. Jangan bersedih jika kita dijodohkan dengan seorang pria maupun wanita pilihan orang tua kita. Karena restu orang tua adalah hal yang paling mutlak dalam membangun sebuah rumah tangga dan doa orang tua kita adalah doa yang langsung di ACC oleh Allah SWT. Semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu diberi petunjuk oleh-Nya Amiiiiiiiiiiiin ^^)y


Jumat, 27 April 2012

Renungan Untuk Para Sarjana Bodoh VS Pintar Ala Bob Sadino



1. Terlalu Banyak Ide -
Orang "pintar" biasanya banyak ide, bahkan mungkin telalu banyak ide, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan. Sedangkan orang "bodoh" mungkin hanya punya satu ide dan satu itulah yang menjadi pilihan usahanya

2. Miskin Keberanian untuk memulai -
Orang "bodoh"biasanya lebih berani dibanding orang "pintar", kenapa ? Karena orang "bodoh"sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, orang "pintar"telalu banyak pertimbangan.


3. Telalu Pandai Menganalisis -
Sebagian besar orang "pintar"sangat pintar menganalisis. Setiap satu ide bisnis, dianalisis dengan sangat lengkap, mulai dari modal, untung rugi sampai break event point. Orang "bodoh"tidak pandai menganalisis, sehingga lebih cepat memulai usaha.

4. Ingin Cepat Sukses -
Orang"Pintar" merasa mampu melakukan berbagai hal dengan kepintarannya termasuk mendapatkahn hasil dengan cepat. Sebaliknya, orang "bodoh" merasa dia harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum mendapatkan hasil.

5. Tidak Berani Mimpi Besar -
Orang "Pintar" berlogika sehingga bermimpi sesuatu yang secara logika bisa di capai. Orang "bodoh"tidak perduli dengan logika, yang penting dia bermimpi sesuatu, sangat besar, bahkan sesuatu yang tidak mungkin dicapai menurut orang lain.

6. Bisnis Butuh Pendidikan Tinggi -
Orang "Pintar"menganggap, untuk berbisnis perlu tingkat pendidikan tertentu. Orang "Bodoh" berpikir, dia pun bisa berbisnis.

7. Berpikir Negatif Sebelum Memulai -
Orang "Pintar" yang hebat dalam analisis, sangat mungkin berpikir negatif tentang sebuah bisnis, karena informasi yang berhasil dikumpulkannya sangat banyak. Sedangkan orang "bodoh" tidak sempat berpikir negatif karena harus segera berbisnis.

8. Maunya Dikerjakan Sendiri -
Orang "Pintar"berpikir "aku pasti bisa mengerjakan semuanya", sedangkan orang "bodoh" menganggap dirinya punya banyak keterbatasan, sehingga harus dibantu orang lain.

9. Miskin Pengetahuan Pemasaran dan Penjualan -
Orang "Pintar" menganggap sudah mengetahui banyak hal, tapi seringkali melupakan penjualan. Orang "bodoh" berpikir simple, "yang penting produknya terjual".

10. Tidak Fokus -
Orang "Pintar" sering menganggap remeh kata Fokus. Buat dia, melakukan banyak hal lebih mengasyikkan. Sementara orang "bodoh"tidak punya kegiatan lain kecuali fokus pada bisnisnya.

11. Tidak Peduli Konsumen -
Orang "Pintar" sering terlalu pede dengan kehebatannya. Dia merasa semuanya sudah Oke
berkat kepintarannya sehingga mengabaikan suara konsumen. Orang"bodoh"?. Dia tahu konsumen seringkali lebih pintar darinya.

12. Abaikan Kualitas -
Orang "bodoh" kadang-kadang saja mengabaikan kualitas karena memang tidak tahu, maka
tinggal diberi tahu bahwa mengabaikan kualitas keliru. Sednagnkan orang "pintar" sering mengabaikan kualitas, karena sok tahu.

13. Tidak Tuntas -
Orang "Pintar" dengan mudah beralih dari satu bisnis ke bisnis yang lain karena punya banyak kemampuan dan peluang. Orang "bodoh"mau tidak mau harus menuntaskan satu bisnisnya saja.

14. Tidak Tahu Pioritas -
Orang "Pintar" sering sok tahu dengan mengerjakan dan memutuskan banyak hal dalam waktu sekaligus, sehingga prioritas terabaikan. Orang "Bodoh"? Yang paling mengancam bisnisnyalah yang akan dijadikan pioritas

15. Kurang Kerja Keras dan Kerja Cerdas -
Banyak orang "Bodoh" yang hanya mengandalkan semangat dan kerja keras plus sedikit kerja cerdas, menjadikannya sukses dalam berbisnis. Dilain sisi kebanyakan orang "Pintar" malas untuk berkerja keras dan sok cerdas,

16. Mencampur adukan Keuangan -
Seorang "pintar" sekalipun tetap berperilaku bodoh dengan dengan mencampuradukan keuangan pribadi dan perusahaan.

17. Mudah Menyerah -
Orang "Pintar" merasa gengsi ketika gagal di satu bidang sehingga langsung beralih ke bidang lain, ketika menghadapi hambatan. Orang "Bodoh" seringkali tidak punya pilihan kecuali mengalahkan hambatan tersebut.

Bismillahirrahmanirrahiem..

keyword: motivasi menulis, bagaimana menulis yang baik, tips-tips menulis, membuat tulisan, belajar nulis, susah menulis.. lanjut sendiri ya. :D

Waoew... udah lama sekali ya, ana ga ngepost di blog ini lagi. Terakhir tanggal 20 Agustus kemarin, dan sekarang udah tanggal 5 November. Yaudah daripada berlama-lama ngeluh, mending langsung aja menuliskan apa yang bermanfaat.

Jujur sebenarnya buannyak sekali yang pengen ku tuliskan. Bahkan saking banyaknya, hampir selalu bingung.. mau nulis apa dan mulai dari mana. Itulah kenapa, sejak tanggal itu sampai sekarang aku belum bisa nulis di blog lagi. Kalau nulis dan komen di facebook sih selalu, hahaha.. :D :P

Oke lanjut, .. selain karena kebingungan itu, aku juga dihadapkan banyak kegiatan. Khususnya setelah aku balik lagi ke Cairo setelah 'berliburan' - weeeeks.. bahasanya liburan, kayak orang kaya aja.. hahaha -, selama dua bulan di Indonesia. Sungguh bener-bener petualangan yang sangat luar biasa. Di mana aku nemukan banyak hal dan pelajaran yang sangat bermanfaat.. tentang kuliah, tentang karir, tentang masa depan.. dan tentunya juga tentang apa arti hidup ini. Memahami hidup lebih dekat..

Dan alhamdulillah sekarang aku udah mulai bisa nemukan 'feeling' nulisku yang dulu sempet ilang. Semoga tetap begitu sehingga bisa lebih banyak berbagi, yang tidak saja bermanfaat buat orang lain, tapi juga bisa jadi amal jariyah buatku.. dan kita semua yang menyebarkannya.. insya Allah, amin99x.

Lanjut ke persoalan nulis.. emang bener, begitulah yang selalu dialami oleh para penulis alias author -kekeke, jadi berasa kayak JK Rowling euy - pemula adalah persoalan mood menulis. Kadang pengen nulis, kadang engga. Pas kali ini semangat.. lain waktu jadi males, dsb. Pengen tahu kenapa? Dan bagaimana agar selalu bisa menulis yang tidak saja enak dibaca, dan tentunya bermanfaat? Kali ini aku pengen berbagi soal itu, insya Allah. Yok, menelusur lebih dalam...

1. Menulis adalah skill!

Ini penting sekali kita pahami. Dan harus kita sadari, bahwa menulis itu adalah hasil asahan, sama seperti bidang-bidang skill lainnya. Semakin diasah, semakin tajam.. Jadi, menulis itu bukan saja soal bakat, bukan tiba-tiba seseorang jadi pakar dalam menulis. Tapi adalah soal kemauan kita mengasah skill tersebut.

Memang, tidak semua orang harus pandai menulis. Sama seperti tidak wajibnya, semua orang pandai dalam berkhutbah, mengajar, dst.. dan karenanya, bagi kalian yang merasa ga cocok dengan dunia tulisan, ga usah dipaksain cocok-cocokan. But wait, buat kalian - dan kita sih sebenernya, hehe :P - yang udah pernah nulis di blog, dan kemudian vakum, maka itu bukan salah mood kalian sehingga sampai sekarang ga pinter-pinter juga menulis. Tapi yang bener adalah, salah kalian karena ga disiplin mengasah skill menulis kalian...

Bener bahwa di atas aku bilang, menulis adalah ketika bener-bener ga tahan, bukankah ini adalah mood? Iya bener itu adalah mood. Tapi mood seorang penulis, akan selalu ada.. bukan karena diada-adakan, tapi karena instingnya akan selalu menciptakan itu. Semua realita yang ia lihat, dengar dan rasakan akan menjadi bahan yang sangat asyik ia tuliskan. Dan ketika menulis pun, tidak kemudian gagap.. why? Karena menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dan agar menulis selalu hidup dalam jiwa kita, ia harus selalu disirami.. biar ga layu dan mati. Itulah skill dan kedisiplinan.

Ga usah susah-susah dan banyak-banyak.. cukup mulai dari yang sederhana dan teruskan setiap hari.

2. Tulislah saat engkau benar-benar tidak tahan menuangkannya..

Pengen nulis tapi bingung? Bisa jadi ini karena kita dikejar deadline. Atau karena terpaksa harus nulis. Maka ingatlah pesan dari bang Napi ini, - eh, maksudnya bang pemilik blog ini, hehe..- yaitu, tulislah ketika kita benar-benar ga tahan menuangkannya!

Lalu, nulis apa? Nah, tapi jangan lupa, kita juga perlu selalu menyimpan ide yang berseliweran dan kita lagi ga mood nulis. Jadi, simpan dulu ide-ide tersebut.. dan pada saat yang membuncah itulah, kita tuangkan dengan sekuat tenaga dan sepenuh jiwa,.. :D

3. Cari motivasi menulis

Sama seperti kegiatan lain. Menulis juga butuh motivasi. Entah motivasi cari duit, motivasi bekal latihan, motivasi ga ada kerjaan, motivasi curhat.. asal jangan motivasi nipu orang. :P

Ga ada satu kerjaan pun dikerjain manusia, kecuali ada alasan di baliknya. Maka, carilah motivasi dan alasan menulis kita. Kira-kira apa yang paling interesting buat hati kita dan ingin kita bagikan lewat tulisan.. apa yang bisa mentrigger-nya dan seterusnya.

Seperti misalnya aku, ga akan bisa diam kalau udah ditanya tentang suatu persoalan. Jadi, teknik pertama adalah, cari pertanyaan.. hehe. Maka dengan sendirinya, aku akan nyari jawaban dan membuat tulisan. #ting!

4. Menarik adalah persoalan human interest! Dan bermanfaat adalah tujuan utama dari menulis

Tulisanku jelek ga ya.....?? Ga usah jauh-jauh minta penilaian. Persoalan menarik atau engga itu adalah soal 'rasa', jadi tentunya kita bisa menilainya sendiri. Kecuali emang kita -eh, kamu aja kali ya.. :P- udah mati rasa hatinya. :D

Tulisan yang berhasil menguras air mata, mengobrak-abrik emosi dan menyayat-nyayat hati manusia, itulah tulisan yang menarik. Dan percaya deh, jadi best seller kalau dibukukan. Maka jangan heran, buku yang paling laris biasanya soal motivasi, soup for the soul, novel, dst.. Karena memang, manusia mudah terombang-ambing emosinya, lewat tulisan-tulisan sederhana yang 'match' dengan hatinya. Dan hati, adalah persoalan rasa..

Membuat tulisan dengan standar semenarik mungkin sangat tidak dilarang. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi harus diingat,.. sebuah tulisan bernyawa karena ada pesan yang ingin disampaikan di dalamnya. Baik jeleknya tulisan tidak hanya dinilai dari menarik tidaknya. Tapi apa manfaat dan isi tulisan tersebut? Tanpanya, sebuah tulisan hanya akan jadi mayat.

Beri suatu hal yang baru. Beri pengetahuan, beri motivasi.. beri pandangan baru kepada pembaca. Dan berbagi manfaat, adalah tujuan utama menulis. Maka, apa yang kita tulis, haruslah apa yang kita kuasai.. Bercerita tentang hal yang kita tidak tahu apa-apa di dalamnya, sama saja bohong. Bukan saja kita jadi tampak seperti orang sombong,.. akan tetapi juga bisa jadi bahan tertawaan orang lain. Lebih parah lagi kalau sampai ada yang terpengaruh dan ikut-ikutan tulisan kita.

Udah sesat, menyesatkan pula... :D :P

6. if it's important to you, you'll find a way..

Akhirul kalam.. ada sebuah quote menarik yang aku temuin di fesbuk. "If it is important to you, you'll find a way.. Otherwise you'll find an excuse."

Jangan heran kalau kita selalu berhasil mencari alasan untuk tidak menulis. Apalagi bangga berhasil 'menipu' diri kita dengan alasan-alasan tersebut. Karena sesungguhnya, bukan kita yang pintar cari alasan.. tapi karena emang, bagi kita.. bagi jiwa kita, menulis tidaklah penting. :)

So, sebaiknya.. dan afterwards.. benar-benarlah tanyakan pada diri sendiri. Apa arti menulis buatmu?


Who Knows??


Pada sudut ini, saya pastilah harus tersenyum melihatmu tertawa bahagia di sana.
Ya...saya ikut bahagia bila kamu bahagia. Sederhana saja kan. Sesederhana itu.
Bahagia bisa mewujud berbagai rupa. Dan saya memilih tersenyum diam-diam di sini.

Walaupun
Kamu tidak pernah tahu. Kamu tidak perlu tahu...
How deep inside, no one knows what i feel inside.. even though U

The Only One Allah who knows it
I love you Allah ^^

Indahnya Jadi Pemula

I'm happy to see me and my friends' the first publishing book "Indahnya Jadi Pemula" . Very inspiring, I can't forget the wonderful moment with u ... hope to see u again in the next chance 




This is a kind of motivation, story, unforgettable moment of ours ... Thanks for Mr. Anas Achmadi M.Pd for giving Us a chance to be the writer in a dream. This is the first step for us to be better to write our dream on the white paper.



Jumat, 20 April 2012

KRITIK SASTRA KRITIK SASTRA OBJEKTIF DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK PADA CERPEN LANGIT MAKIN MENDUNG KARYA KIPANDJIKUSMIN


By:
Hikhmah Oky Pravitasari
 KKT A

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN 2012

PENGANTAR
       Pada dasarnya karya sastra terdiri dari tiga macam, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama.  Prosa fiksi disebut juga cerita rekaan. Ada beberapa hal yang perlu dipaparkan berkait dengan pembedaan jenis prosa fiksi, yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu cerita pendek (cerpen) dan novel. Menurut Najid (2009:21) cerpen ialah prosa fiksi yang relatif pendek. Berbeda dengan novel yang relatif lebih panjang, meskipun demikian sangat mungkin sebuah cerpen bila dilanjutkan akan menjadi sebuah novel. Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Kali ini saya akan membeda kajian kritik sastra pada cerpen Langit Makin Mendung dengan pendekatan objektif.
Cerpen "Langit Makin Mendung" dimuat di Majalah Sastra, Th. VI.No. 8, Edisi Agustus 1968.Cerpen ini menunai kontroversi yang luar biasa.Umat Islam pada waktu itu yang berada dalam kondisi yang sensitif memprotes atas dimuatnya cerpen yang, menurut mereka, bisa merusak akidah mereka.Akhirnya majalah Sastra dibredel. Pimrednya HB. Jassindijebloskan ke dalam penjara gara-gara tidak mau mengungkapkan identitas Ki Panji Kusmin pengarang cerpen ini.Sammpai saat ini identitas pengarang cerpen ini belum terkuak.Dalam buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Dahlan, 2004), disebutkan ada dua kemungkinan mengenai hal itu. Pertama, Kipandjikusmin adalah H.B. Jassin sendiri. Kedua, Kipandjikusmin adalah seorang penulis pemula yang tinggal di Yogyakarta dan tengah kuliah di sebuah universitas Islam. Dan, menurut catatan editor buku Pleidoi Sastra, kemungkinan yang kedualah yang mendekati kebenaran.
       Kalau kita baca cerpen itu secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal, maka pesan kuat yang hendak disampaikan Kipandjikusmin adalah kritiknya terhadap Presiden Soekarno, Soebandrio, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Dalam pembacaan saya, Kipandjikusmin tidak menjelekkan agama Islam. Yang dijelekkannya adalah Rezim Soekarno, yang saat itu telah dilengserkan dan ditahan RezimSoeharto(Sambodja,2006).
        Namun, bumbu-bumbu yang digunakan oleh Kipandjikusmin itulah yang dipersoalkan. Cerpen itu tetap dianggap sebagai menghina agama Islam. H.B. Jassin terpojok, namun sastrawan-sastrawan Manikebu membelanya, tapi tidak membela Kipandjikusmin. Taufiq Ismail, misalnya, mengatakan cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan ataupun agama Islam. “Kipandjikusmin melakukan kekeliruan besar dalam akidah mungkin karena ketidaktahuannya saja. Cerpen ‘Langit Makin Mendung’ itu sendiri tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk,” kata Taufiq Ismail (lihatPradopo,2002).
        Meski cerpen ini dipandang banyak menuai kontroversi, ada dokumentasi sosial yang digambarkah oleh cerpen ini tentang keadan masyrakat, caut-marut politik, ideologi pada era 1960-an. Karena itu, penulis tertarik untuk menganalisisnya dengan pendekatan objektif.  Penulis memfokuskan kajian Langit Makin mendung pada karya sastra itu sendiri.
Pendekatan Pragmatik
        Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut. Contohnya dalam cerpen langit makin mendung karya Kipandjukusmin dimana terjadi pergolakan dan pertentangan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai sosial di masyarakat. Banyak kontroversi yang terjadi dalam cerpen makin mendung ini. Diantaranya terdapat perbedaan pendapat dariberbagai tokoh, diantaranya adalah sebagai berikut, penulis mangambil sumber dari internet.
Ali Audah (dalam Damono, 1987) menilai cerpen “Langit Makin Mendung” tidak menghina agama, karena agama terlalu agung dan luhur untuk dapat dihinakan oleh cerpen semacam itu. “Saya berpendapat nilai sastranya rendah.”
Buya Hamka yang menjadi saksi ahli dalam persidangan H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap Jassin, tapi tidak untuk Kipandjikusmin. Bahkan, dalam persidangan itu Hamka meminta agar H.B. Jassin dibebaskan. Hamka menilai Kipandjikusmin sebagai seorang pengecut, karena berlindung di balik nama samaran dan tidak memperlihatkan jati dirinya. Dari segi isi cerita, kalau Kipandjikusmin mengkritik konsep Nasakomnya Soekarno saat Nasakom sudah habis, menurut Hamka, sama saja dengan orang yang menantang berkelahi bangkai yang telah mati. Sikap kesatria itu adalah yang diperlihatkan H.B. Jassin dan kawan-kawan ketika mereka mengeluarkan Pernyataan Manifes Kebudayaan di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih di puncak dan Nasakom masih berkuasa (Dahlan, 2004).
Ketika hakim menanyakan kepada Hamka sebagai Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, apakah cerpen itu akan memuat cerpen “Langit Makin Mendung” jika dikirimkan ke majalahnya, Hamka menjawab, “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” (Dahlan, 2004).

Kalau membaca komentar sastrawan-sastrawan Manikebu—dan Islam—di atas, tampak jelas bahwa mereka menilai karya Kipandjikusmin itu rendah mutu sastranya. Kalau karya itu dinilai rendah, kenapa dimuat di majalah Sastra? Kenapa H.B. Jassin memuat karya itu di majalah sastra yang bergengsi itu? Dalam persidangan, Jassin tetap bersikukuh bahwa dilihat dari segi kritik sastra, cerpen itu bermututinggi(Damono,1987).

Kriteria apakah yang membuat suatu karya sastra bermutu tinggi dan bermutu rendah? Bagi pengamat sastra yang berprinsip karya sastra sebagai karya yang otonom, maka ukurannya adalah kepiawaian pengarang dalam mengolah unsur-unsur karya sastra itu. Bagi pengamat sastra yang berpendirian bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, maka yang menjadi ukuran adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.

Tapi, kalau dilihat dari segi yang lain. Kontroversi semacam ini akan menjadi catatan sejarah yang penting. Katakanlah cerpen “Langit Makin Mendung” bermutu rendah. Namun, sampai sekarang karya itu masih terus dibicarakan, sementara karya sastra “yang bermutu tinggi” yang terbit bersamanya luput dibicarakan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah karya itu bertarung sendiri dengan waktu.

Pembelaan H.B. Jassin terhadap Kipandjikusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. Bisa dibayangkan kalau hanya gara-gara diprotes masyarakat mayoritas dan kalangan sastrawan diam dan takluk begitu saja, maka tamatlah riwayat sastra. Dari sini terlihat bahwa lembaga sensor bukan hanya dari penguasa (negara) saja, melainkan dari masyarakat juga. Dan sastrawan memang sejatinya tidak menyerah begitu saja. Menulis karya sastra terkadang harus pula siap menghadapi segala risiko.
Dalam kasus ini saya melihat kebesaran seorang H.B. Jassin yang berani menghadapi segala risiko. Ia tidak hanya membela seorang penulis baru seperti Kipandjikusmin, tapi juga membela penulis besar seperti Chairil Anwar dan Hamka yang dituduh sebagai plagiator. Tidak salah kalau A. Teeuw menjuluki H.B. Jassin sebagai Wali Penjaga Sastra Indonesia.
       Dari pendapat diatas dapat dikaji dengan pendekatan pragmatik yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Dalam cerpen langit makin mendung digunakan kipandjikusmin sebagi sarana kritikan pada pemerintahan pada saat itu. Dia sengaja tidak memberi tahu siapa jati dirinya. Karena cerpen ini sangatlah fenomena pada masa itu yang notabene pada masa itu adalah masa orde lama. Karya sastra seperti ini pasti memiliki nilai estetika yang sangat tinggi karena membuat berbagai persepsi dari berbagai orang. Penokohan- penokohan yang diapakai tidak menggunakan nama-nama orang biasa. Tetapi Kipandjikusmin dengan sangat berani dan dengan bahasa yang lugas menggunakan nama-nama nabi beserta gelar, bahkan nama tuhan juga disejajarkan dengan nama-nama nabi.  Masalah-masalah yang muncul disini juga sangat sarat dengan dunia politik, agama, ekonomi dan budaya. Meskipun cerpen ini banyak yang memprotes, tetapi nilai-nilai positif juga banyak diselipkan oleh pengarang. Karya sastra ini ingin membandingkan sikap penguasa yang benar dan salah, sikap rakyat yang baik dan benar maupun keterlaksanaan agama yang benar itu bagaimana. Kesimpulannya meskipu cerpen ini banyak menuai kritik, tetapi banyak nilai-nilai positif yang disisipkan dalam cerpen ini. Tidak selamanya kritik itu merusak, bahkan banyak kritik yang membangun dan menikkatkan dunia sastra.
Kritik Sastra Objektif
         Teori kritik sastra objektif merupakan teori yang harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya.  Karya sastra cerpen yang berjudul Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin ini sangatlah fenomenal, karena cerpen ini sarat akan nilai-nilai kritik sosial, budaya, agama maupun politik. Cerpen Langit mendung seakan mengerebak dunia orde lama, yang pada masa itu masih pemerintahan berpusat pada penguasa.. Adanya jurang pemisah antara penguasa dan rakyat sangatlah signifikan. Moral agama yang notabene mayoritas penduduk Indonesia saat itu beragama islam, tetapi dialog yang digunakan antara tokoh nabi Muhammad, nabi adam, dan tuhan menunjukkan moral bangsa yang semakin rendah, selain itu moral rakyat semakin bejat ditunjukkan denagn dialog antara rakyat jelata dengan perempuan kelas rendah yang berhubungan intim dimanapun dan kapanpun. Cerpen tersebut menunjukkan sinkronisasi antara dialog di cerpen dengan pemerintahan saat itu yaitu di negara Indonesia.











DAFTAR PUSTAKA

Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.

Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.





ANALISIS ASPEK PSIKOLOGIS TOKOH SUSAN DALAM NOVEL “SIKLUS” KARYA MOHAMMAD DIPONEGORO

 By: 
Hikmah Oky Pravitasari
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN 2012


BAB II
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
       Karya sastra, sebagai salah satu bentuk karya seni, merupakan cermin dari masyarakat tempat karya sastra tersebut dilahirkan. Dalam ungkapan Abrams (1976: 31) “art is like a mirror”, menunjukkan pernyataan itu. Karya sastra merupakan imitasi dari universe atau semesta, yang dalam pengertian kritik sastra Marxis sering disebut dengan istilah refleksi masyarakat (Abrams, 1981: 178-179).
      Wellek dan Austin dalam Nurgiantoro (1995:3) menyebutkan bahwa sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni dan objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Oleh karena itu karya sastra adalah salah satu karya seni karena karya sastra dengan leluasa mengungkapkan dan mengekspresikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi manusia demi penyempurnaan kehidupan manusia. Karya sastra memilki beberapa klasifikasi, jenis atau genre, yang meliputi prosa, puisi dan drama. Prosa terdiri atas novel, cerpen, roman dan sebagainya. Nurgiantoro (1998:11) mengungkapkan bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih rinci, lebih detail dan melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks. Sejalan dengan hal tersebut Henry Guntur (1993:164) menjelaskan bahwa novel merupakan suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata dalam suatu alur atau keadaan.
       Karya sastra sebenarnya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pengarangnya, sebab di antara keduanya terdapat “hubungan kausalitas” (Aminuddin, 1990:93), yakni sebagai hasil kreativitas pengarangnya, karya sastra tidak akan mungkin lahir tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Sebagai manusia yang hidup dan berinteraksi dengan sesamanya, sang pengarang dengan bermodalkan kepekaan jiwa yang dalam senantiasa mencecap melalui pengamatan dan penghayatan terhadap masalah kemanusian dan kehidupan ini. Kemampuan menangkap gejala-gejala kejiwaan dari orang lain, oleh pengarang kemudian diolah dan diendapkan serta diekspresikan dalam proses kreatif cipta sastra sehingga lahirlah karya sastra sebagai buah kontemplatif sang pengarang. Dengan demikian, pengalaman kejiwaan yang semula mengendap dalam jiwa pengarang telah beralih menjadi suatu master piece cipta sastra yang terproyeksikan lewat ciri-ciri kejiwaan para tokoh imajinernya. Tokoh dalam “dunia baru”, dunia rekaan sang pengarang.
       Sastra sebagai “gejala-kejiwaan” yang di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang menampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, dengan demikian karya sastra (teks sastra) dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:93). Sesuai perkembangannya, pendekatan tekstual dalam psikologi sastra dewasa ini tidak hanya bertumpu pada pendekatan psikologi dalam. Tetapi juga memungkinkan dilakukan dengan pendekatan psikologi yang lain seperti pendekatan behavioral yang berpijak pada anggapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada, termasuk rentetan peristiwa yang membentuknya. Pendekatan psikologi behavioral ini mengabaikan anggapan psikologi kognitif yang beranggapan bahwa faktor pembawaan sejak lahirlah yang membentuk kepribadian manusia.
Kompleksitas unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra, hal ini menuntut kepada kita berkaitan kajian sastra agar memiliki suatu kepekaan emosi atau perasaan dalam menikmati unsur-unsur keindahan cipta sastra; wawasan pengetahuan dan pengalaman yang luas terhadap masalah kehidupan dan kemanusiaan baik lewat penghayatan secara intensif-kontemplatif maupun dengan membaca berbagai literatur humanitas; pemahaman terhadap aspek kebahasaan; serta pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra.
        Jika Horace (Depdiknas, 2005ca:79) menganggap sastra adalah dulce et utile, menyenangkan dan berguna karena dari pernyataannya tersirat makna bahwa sastra bisa berfungsi sebagai sarana “rekreatif” dan untuk pengajaran moral kepada manusia; apalagi juga ditegaskan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. bahwa dengan terlibatnya manusia ke dalam karya sastra dapat menolong seseorang menjadi mansia yang berbudaya (cultured man), yakni manusia yang responsif terhadap hal-hal yang luhur dalam hidup ini serta senantiasa mencari nilai-nilai kebenaran; maka berangkat dari upaya menangkap salah satu unsur dalam kandungan karya sastra yaitu lewat telaah tokoh dan penokohan tekstual sastra dengan pendekatan psikologi behavioral inilah dilakukan penelitian yang diberi judul  Analisis Aspek Psikologi Tokoh Susan dalam Novel “SIKLUS” Karya Mohammad Diponegoro.
Tidak semua unsur yang terkandung dalam suatu karya sastra, bisa secara tuntas diapresiasi dalam waktu yang relatif terbatas. Oleh sebab itu, bertolak dari pendapat Aminuddin (2004:45) yang menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan apresiasi sastra melalui kegiatan analisis, tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra, melainkan bisa membatasi diri pada analisis struktur, diksi, gaya bahasa, atau mungkin analisis unsur kebahasaan seperti dilaksanakan dalam pendekatan linguistik atau text grammar; maka peneliti membatasi pada masalah Analisis Aspek Psikologis tokoh Susan pada Novel ”SIKLUS” karya Mohamad Diponegoro.

B.      Rumusan masalah
Rumusan Masalah pasti selalu ada dalam setiap penelitian atau kegiatan. Hal ini bertujuan agar pembicaraan yang dilakukan dapat mencapai sasaran. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. bagaimanakah kondisi aspek psikologis tokoh Susan dan Amir pada novel siklus?
C.        Tujuan Makalah
  1. Mendeskripsikan Bagaimana aspek psikologis tokoh Susan dan Amir pada novel siklus?
D.       Manfaat
Hasil makalah diharapkan dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.
1.    Manfaat Teorotis
      Makalah ini diharapkan memberi sumbangan bagi peminat karya sastra
2.    Manfaat Praktis
     Secara praktis makalah ini memberikan manfaat sebagai berikut:
a.     Meningkatkan minat baca peminat sastra
b.    Meningkatkan daya kepekaan terhadap karya sastra
c.     Mendapatkan tambahan informasi





BAB II
KAJIAN TEORI
        Pada prinsipnya penelitian tentang Analisis Aspek Psikologis Tokoh Susan dalam novel “Siklus” karya Mohammad Diponegoro ini memanfaatkan kajian interdisipliner, artinya penelitian ini dalam upaya menginterpretasi karya sastra memerlukan ilmu terapan dengan mengkaji kepustakaan yang relevan. Beberapa kajian sebagai tinjuan pustaka yang relevan, meliputi (1) tinjauan pengertian prosa fiksi (2) tinjauan terhadap psikologi sastra (3) tinjauan terhadap psikologi sastra, (3) tinjauan terhadap penokohan dalam novel.
A.        Pengertian Prosa Fiksi
        Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional sehingga menjadi suatu wacana. Pengarang dalam memaparkan isi karya fiksi bisa lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, dan (3) lakuan atau action (Aminuddin, 2004:66). Disebutkan juga bahwa bentuk-bentuk karya fiksi meliputi roman, novel, novelet, maupun cerpen.
        Semua karya sastra termasuk novel, mempunyai dua unsur yang membangun, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, setting/latar, gaya, sudut pandang, suasana, dan amanat. Adapun unsur yang membangun di luar karya sastra yaitu unsur ekstrinsik meliputi : biografi pengarang, pembaca, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra (Aminuddin, 2004:34).
B.        Pengertian Novel
Novel adalah sebuah cerita prosa fiksi karya pengarang yang tercipta dengan dilandasi berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam imajinasinya; dan dihadirkan dalam bentuk paparan cerita yang panjang mengenai kehidupan manusia. Pengertian novel bila ditinjau secara harafiah, istilah novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “barang baru yang kecil”. Novel adalah karya sastra fiksi yang panjangnya sekitar 200 halaman (Depdiknas, 2005:107; abdul Rani, 2004:85). Abdul Rani (2004:85) mengartikan novel sebagai karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa tokoh.
        Mengutip pendapat Mochtar Lubis, Henry Guntur Tarigan dalam bukunya Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (1985:165-166) menyebutkan bahwa pemilahan jenis novel/roman berdasarkan bentuk dan genrenya dibedakan menjadi novel : (1) avontur, (2) psikologis, (3) detektif, (4) sosial, (5) politik, dan (6) kolektif.
        Berdasarkan segmen konsumen pembacanya, terdapat jenis novel remaja yang menurut Nurgiantoro (dalam Depdiknas, 2005:108) adalah novel populer yakni novel yang massa pembacanya sangat banyak khususnya di kalangan remaja. Novel remaja (populer) menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman walaupun hanya sesaat/temporer atau sementara/artifisial serta tidak menggambarkan kehidupan secara intens tentang pemahaman hakikat kehidupan.
Sebagai salah satu genre sastra, novel serta karya fiksi lainnya seperti cerpen, novelet, dan roman mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi yang berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi sehingga menjadi suatu wacana (Aminuddin, 2004:66). Unsur-unsur prosa fiksi meliputi tokoh dan penokohan, latar/setting, alur atau plot, sudut penceritaan/sudut pandang, gaya, tema, dan amanat.
C.        Psikologi Karya Sastra
        Psikologi sastra adalah suatu kajian yang bersifat tekstual terhadap aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:88-91).
        Psikologi sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori sastra. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi. Antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional, demikian menurut Darmanto Yatman (Aminuddin, 1990:93). Pengarang dan piskolog kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Keduanya mampu menangkap kejiwaan manusia secara mendalam. Perbedaannya, jika pengarang mengungkapkan temuannya dalam bentuk karya sestra, sedangkan psikolog sesuai keahliannya mengemukakan dalam bentuk formula teori-teori psikologi.
        Karya sastra yang merupakan dunia baru hasil ciptaan pengarang. Secara sadar atau tidak sadar pengarang sebagai seorang manusia telah memasukkan aspek-aspek kehidupan manusia di dalam karyanya (sastra). Disinilah yang menjadi letak kajian psikologi, yaitu aspek-aspek manusia yang diciptakan dalam karya sastra (tokoh-tokoh dalam karya sastra) yang memiliki aspek-aspek kejiwaan. Dalam memahami psikologi sastra, kita dapat menggunakan beberapa cara, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaaan pengarang sebagai penulis; b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra; c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
      Hal sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Freud, bahwa Psikologi adalah semua gejala yang bersifat mental bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam kesadarnan. Lebih lanjut Freud membagi teori kepribadian menjadi tiga, yaitu Id (Es), Ego (Ich), dan Super Ego (Uber ich). Id merupakan dorongan biologis dan berada dalam ketidaksadaran. Id beroperasi menurut prinsip kenikmatan (Pleasure principle) dan mencari kepuasan segera. Ego adalah pikiran yang beroperasi menurut prinsip kenyataan (reality principle) yang memuaskan dorongan id menurut cara-cara yang dapat diterima masyarakat. Adapun superego yang terbentuk melalui proses identifikasi dalam pertengahan masa kanak-kanak, merupakan bagian dari nilai-nilai moral dan beroperasi menurut prinsip moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan nilai baik-buruk, salah-benar, boleh tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan Ego yaitu Id. Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawah sejak lahir. Dari id ini kemudian muncul ego dan superego (Freud, 2004: 19)
D.       Tokoh dalam Karya Sastra
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelakunya, pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehinggga terjalin suatu cerita disebut dengan tokoh (Aminuddin, 2004:79). Kusdiratin (dalam Depdiknas, 2005:57) mengatakan bahwa tokoh dalam karya fiksi selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemerian watak pada tokoh suatu karya sastra oleh pengarang disebut perwatakan. Tokoh merupakan bagian dari keutuhan artistik karya sastra yang selalu menunjang keutuhan artistik itu. Tokoh dalam karya sastra dapat digolongkan menjadi lima, yaitu (1) tokoh utama dan tokoh pembantu, (2) tokoh bulat dan tokoh datar, (3) tokoh protagonis dan tokoh antagonis, (4) tokoh sentral dan tokoh bawahan, dan (5) tokoh dinamis dan tokoh statis (Aminuddin,2004:80).
        Penokohan dalam karya sastra adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku dalam karya fiksinya. Boulton dalam (Aminuddin, 2004:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokoh dalam karya fiksi dapat bermacam-macam, seperti tokoh pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang gigih dalam perjuangan hidupnya, pelaku yang selalu bersikap realistis, pelaku yang egois. Para pelaku bisa berupa manusia atau tokohmakhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya perilaku binatang.



















BAB III
PEMBAHASAN
         Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa psikologi sastra juga memandang sastra sebagai hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, diabdikan untuk kepentingan estetis, di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi. Fenomena kejiwaan sebagai proyeksi pemikiran pengarang nampak lewat perilaku tokoh-tokoh ceritanya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi.
          Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari tiga elemen. Ketiga unsur kepribadian itu dikenal sebagai id, ego dan superego yang bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks.
1.  Id
         Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan.
Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
        Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.


2.   Ego
       Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat.
        Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.
3.   Superego
        Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Ada dua bagian superego, Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi. Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.
Interaksi dari Id, Ego dan superego
       Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
A.Deskripsi Temuan Kondisi aspek Psikologis tokoh Susan dalam Novel “Siklus” karya Mohammad Diponegoro
       Dalam novel ini dijelaskan bahwa  tokoh Susan adalah seorang istri John Fletcher yaitu seorang antropolog kebangsaan Amerika. Pada awal-awal pernikahan mereka terlihat baik-baik saja. Tetapi John fletcher sangat gila jika sudah berhadapan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Susan istrinya merasa kurang perhatian dan kurang akan kebutuhan batiniahnya akibat sepeninggal John meneliti peninggalan-peninggalan antropolog, karena Susan tidak menyukai hal-hal yang berbau antropolog. Sehingga Susan melampiaskan kebutuhan seksualnya dengan banyak pria dari bangsa eropa, china bahkan sahabat suaminya sendiri yang berkebangsaan Indonesia bernama Amir. Dia menjalin hubungan dengan Amir tanpa sepengetahuan suaminya.
Index Penokohan pada Tokoh Susan
1) cantik, wangi, dan lenjeh.
2) istri John Fletcher, gundik Amir, dan pernah pula menjadi gundik Ching.
3) usia sekitar 30 tahun.
4) orang Amerika.
5) suka bertualang seks.
6) tersiksa akibat terabaikan suami.
7) percaya pada tahyul.
8) suka menyesal.
9) tidak memperoleh kepuasan seksual dari suaminya.
10) menyadari dirinya sebagai wanita lacur.
11) tidur bersama sejumlah lelaki: di Amerika, di Eropa, di Afrika, di Indonesia, di Cina.
Dijelaskan bahwa pengaruh Id dan Ego pada diri Susan terlihat pada hubungannya dengan Amir. Susan tahu bahwa Amir adalah sahabat suaminya. Dusamping hal tersebut, terdapat sejumlah peristiwa yang isinya sama, yakni peristiwa 018.9 = 050.1 = 050.2 = 065.6 = 088.1-5 =142.3-4. Semua peristiwa tersebut sama isinya, yakni menceritakan hubungan seksual antara Amir dan Susan tatkala John Fletcher sedang tidak di rumah. Peristiwa-peristiwa itu isinya sama pula dengan dua buah peristiwa “pokok”, yakni peristiwa 111 dan 112 tentang persetubuhan antara Amir dan Susan. Kalaupun akan dicari perbedaannya, terutama terkait dengan teknik penceritaan dan latar (informasi tempat). Peristiwa-peristiwa sorot balik yang sama isinya diceritakan dengan teknik “kenangan tokoh” dan latarnya Jakarta, sedangkan peristiwa “pokok” dan latarnya adalah rumah Lily (kawan Susan) di Taipeh. Hal ini menandakan bahwa Susan lebih mementingkan kebutuhan seksual pribadi tanpa mempedulikan suaminya. Karena dia merasa kurang perhatian dari suaminya. Dan dia menyadari bahwa dirinya adalah wanita lacur, sehingga dirinya merasa pantas jika menjalin hubungan dengan banyak lelaki dari Eropa, Afrika, Amerika, china bahkan Indonesia.
        Sebagai seorang antropolog, peneliti, dan kolektor, John Fletcher sering tenggelam dalam pekerjaannya, sehingga Susan istrinya sering terabaikan. Hal ini membuat keluarga/rumah tangga mereka terancam perceraian, terjadi keretakan hubungan suami-istri (110.2). Id dan Ego saling mempengaruhi tingkat psikologis Susan dalam hal ini.
        Hubungan Amir dengan Susan Fletcher dan John Fletcher terputus ketika keluarga itu meninggalkan Indonesia (018.1-10 – 050.1 – 058.1-2 – 065.6 – 069.2 – 088.1-5 – 142.2-4). Di sela-sela kesibukan John Fletcher dengan penelitiannya terhadap siklus kalung, hal ini  membuat susan mengutamakan egonya untuk berselingkuh dengan orang lain. Susan kembali terlibat skandal seks dengan Amir karena hubungannya dengan Ching sudah renggang (075 – 077 – 082 – 095 – 096 – 109 – 110.1 – 110.4-6 – 111 – 112).
Kritik sastra
Informasi tempat novel ini menunjukkan – secara garis besar dan dilihat dari seginya yang foregrounded ‘terkedepankan’ – kesamaan dalam hal-hal tertentu. Penunjukan tempat seperti Jakarta, Taipeh, bar & restaurant, hotel, dan sebagainya merupakan suatu indikasi hidup dan kehidupan modern. Akan tetapi, di balik itu, tokoh-tokoh yang terlibat menunjukkan hal yang paradoksal. Amir adalah tokoh yang “merasa” modern dengan sikap anarkhinya terhadap cinta, wanita, dan seks, sementara sifat-sifat itu merupakan “gincu” akibat kegagalannya dalam berumah tangga. Demikian pula halnya dengan Susan. Sementara John Fletcher sebagai seorang ilmuan sejati, bangsa barat (Amerika), malah masih mempercayai hal-hal yang bersifat tahyul dan mistik. Pada konteks ini, sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Leong Kum Choon dan Darsono yang memegang teguh pada agama dan juga ilmu pengetahuan, dan sekaligus norma-norma kehidupan yang diyakini, merupakan sikap yang menjadi mediasi antara sifat dan sikap yang paradoksal yang tampak dalam sosok Amir dan Susan di satu pihak, dan john Fletcher di pihak yang lain. Dengan demikian, Taipeh sebagai latar tempat novel ini dapat dianggap sebagai simpang jalanantara Timur dan barat, antara yang tradisional dan yang modern. Dengan demikian, dari sisi ini pula Siklus menunjukkan adanya koherensi.
        Demikian pula halnya dengan tokoh utama yang lain, John Fletcher dan Susan Fletcher. Peristiwa-peristiwa yang dijalaninya menunjuk pada perputaran, pada siklus tertentu. Akan tetapi, di atas itu semua masih ada saja terdapat hal-hal yang berada di luar perhitungan. John Fletcher sama sekali tak menduga bahwa istrinya, Susan, akan memiliki niat untuk mengurungkan perceraian dan kembali baik-baik padanya. Demikian pula dengan Amir. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada akhirnya Susan pun akan mengecewakannya. Bahkan, John Fletcher pun tidak memperhitungkan bahwa kematiannya akan datang begitu cepat dan tiba-tiba; Amir juga tidak memperhitungkan bahwa dirinya pada akhirnya disakiti dan disiksa oleh lelaki yang ternyata suami seorang gadis yang pernah diganggunya.
         Tokoh Susan disini mengalami perubahan besar yaitu ingin kembali ke suaminy lagi dn mengurungkan niatnya berecrai dengan suaminya john Fletcher, setelah petualangan seksnya dengan pria-pria dari mancanegara. Tetapi disaat Susan ingin kembali ke suaminya, John sedang meneliti kalung yang dibeli dari Amir dan akhirnya John meninggal. Kemudian Amir meninggalkan Susan ke Jakarta. Novel ini sarat akan nilai-nilai tokoh yang berkebalikan. Yaitu tokoh Susan sama dengan tokoh Amir yang suka berpetualang cinta, sedangkan suaminya cenderung lebih bijak.
        Tokoh Susan cenderung mementingkan egonya, Susan tidak pernah mengerti dengan pekerjaan suaminya, selain itu Susan Fletcher tidak berminat sama sekali dengan pekerjaan suaminya sebagai antropolog. Sehingga perhatian suaminya John Fltecher berkurang terhadap Susan, Susan akhirnya frustasi dengan kegilaan kerja suaminya. Susan akhirnya memilih berselingkuh dengan pria-pria dari berbagai negara Eropa, Afrika, Amerika, china bahkan dengan sahabat suaminya sendiri yang bernama Amir. Susan juga mempunyai kesimpangan seksual dan Susanpun menganggap dirinya lacur, tetapi di akhir cerita tokoh Susan akhirnya sadar disaat John Fletcher suaminya sedang gila-gilanya meneliti kalung yang telah dibelinya dari Amir. Tetapi disaat Susan ingin menyatakan bahwa dia ingin kembali ke pelukan John, John mendadak meninggal akibat kutukan kalung tersebut. Karya sastra novel berjudul Siklus ini lebih mendominasikan karakter tokoh- tokohnya. Tokoh Amir dan Susan cenderung memiliki karakter yang mirip, karena susan adalah seorang wanita petualang cinta dan seks, demikian juga dengan Amir yang tidak menikah disebabkan oleh istrinya lari dengan perempuan lain, sehingga dia ingin balas dendam terhadap wanita-wanita yang ditemuinya dan mementingkan egonya saja. Tokoh John Fletcher cenderung lebih stabil dan bijaksana, tetapi jika dihadapkan dengan dunia antropolog, John sudah mengesampingkan kepentingan pribadinya, hal inilah yang menyebabkan perilaku Susan yang cenderung menyimpang.
     
SINOPSIS NOVEL
Amir dikirim oleh Indonesia untuk menghadiri acara kebudayaan Internasional di Taipeh. Dalam acara itu, Amir yang tidak lain adalah seorang penjahat penting di Depanteman Pendidikan dan KebudayaanIndonesia itu, bertemu dengan John. Dia adalah seorang antropolog kebangsaan Amerika. Mereka berdua sudah menjadi teman yang akrab. Mereka pernah berteman lama sesama John  di Jakarta beberapa tahun sebelumnya.
Sewaktu mengkontrol dengan Amir itu, John tiba-tiba kaget pada kalung yang dikenakan Amir. John langsung menanyakan darimana Amir  mendapatkan kalung tersebut. Amir kemudian menceritakan dari mana kalung itu dia peroleh yaitu dari teman lama seperjuangananya. Kejadiannya kira-kira hampir seperempat abad yang lalu. Semasa masih menjadi revolusi fisik di Indonesia dulu. Waktu itu Busroddin, teman sepejuanganya itu mencoba menolong Amir yang terkena peluru senapan musuh. Namun sebelum Busroddin menolong Amir, tiba-tiba sebuah peluru meluncur menembus badan Busroddin yang sedang membungkuk di atas  tubuh Amir yang sednag terluka. Waktu itu Amin sengaja memagang  kalung misteri yang berada dileher Busroddin. Busroddin waktu itu langsung terkapar dan tak pernah bangkit kembali. Nah kalung yang tanpa sengaja dipegangnya itu, diambilnya dan disimpanya baik-baik untuk mengenang temannya itu. Dan Busroddin itu sendiri memperolehnya konon dari seorang tentara Gurkha  yang mati terbunuh  di Surabaya beberapa puluh tahuna yang lalu.
Setelah mendengar cerita Amir itu, John langsung menerangkan  kepada Amir apa dan abagaimana kalung itu sebenarnya. Untuk lebih memprkuat penjelasanya, John menyerahkan sebuah buku tentang voodoo  pada Amir. Berdasarkan penjelasan John dari buku yang telah dia baca itu. Amir baru tahu  bahwa kalung itu termasuk kalung yangpenuh misteri. Kalung yang dibuat oleh seorang dukun voodoo Afrika itu ternyata  termasuk salah satu kalung yang sangat berbahaya. Kalung itu dibuat oleh dukun untuk mengutuk suatu keluarga secara turun temurun. Dan bagi siapa saja yang menimpan atau memiliki kalung itu, maka si pemiliknya akan mendapatkan  malapetaka.
Sebagai seorang antropolog, John meninggalkan Susan, istrinya, sendirian di rumah. Isstrinya sering merasa kesepian dan dia juga menjalin hubungan gelap dengan Amir. John sering keliling dunia  mengejar barang –barang pusaka  yang sedang dia teliti. Itulah sebabnya, karena sering ditinggalkan suaminya, dia juga mengadakan hubungan gelap dengan Ching. Ching adalah seorang kongklomerat Taiwan yang wajahnya mirip dengan Amir.
Hubungan gelap antara Ching dan Susan ini sudah diketahui oleh John. Naumn John tidak bisa berbuat apa-apa, sebab masalah itu timbul bagaimanapun adalah karena dia sering berpergian. Hubungan sama istrinya  sebenarnya belum pernah harmonis. Maknya, ketika John melihat kalung yang tadinya diletakan telentang, tiba-tiba menelungkup, John langsung mengira bahwa istrinya sudah mulai  senang dan memperhatikan dirinya.
Untuk itu, karena saking gembira, John langsung mencari istrinya sambil membawa kalung yang bergambar hantu bengis itu. Susan istrinya itu kebetulan sedang berada dilantai atas. Dan John pun langsung menuju ke lantai atas dengan tergesa-gesa. Namun sialnya, karena terlalu tergesa-gesa, John terpeleset dari lantai atas. John jatuh terguling sampai ke bawah. John langsung tidak sadarkan diri untuk selama-lamanya. Kalung yang masih tergenggam erat ditanganya itu  menyeringai mengerikan.
Mendengar sahabatnya, John, meninggal dunia Amir langsung  menuju Nebraskha untuk melayat. Dari Susan, istri John itu, Amir mendengar cerita semuanya perihal  kematian John. Juga Susan menceritakan  bagaimana kalung  misteri bergambar hantu bengis itu tanpak menyeriangi garang. Amir mengambil kalung itu  dan membaca tulisan yang ada dibalik kalung. Di situ  tertulis tanggal 16 Juli, hari kamis. Itu adalah tanggal dan hari kematian Busroddin dua puluh empat tahun  yang lalu. Dan ternyata tepat pula dengan hari dan tanggal kematian John Flitcher!.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa novel ini mengungkapkan makna bahwa “bagaimanapun manusia memperhitungkan kehidupannya, akhirnya nasib atau takdir-lah yang menentukannya”. Artinya, bahwa betapapun manusia merasa dirinya modern dan mengabaikan hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kutipan berikut ini lebih menjelaskan makna keseluruhan novel Siklus.
Karya sastra novel berjudul Siklus ini lebih mendominasikan karakter tokoh- tokohnya. Tokoh Amir dan Susan cenderung memiliki karakter yang mirip, karena susan adalah seorang wanita petualang cinta dan seks, demikian juga dengan Amir yang tidak menikah disebabkan oleh istrinya lari dengan perempuan lain, sehingga dia ingin balas dendam terhadap wanita-wanita yang ditemuinya dan mementingkan egonya saja. Tokoh John Fletcher cenderung lebih stabil dan bijaksana, tetapi jika dihadapkan dengan dunia antropolog, John sudah mengesampingkan kepentingan pribadinya, hal inilah yang menyebabkan perilaku Susan yang cenderung menyimpang.

DAFTAR PUSTAKA

Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.

Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.