Jumat, 20 April 2012

KRITIK SASTRA KRITIK SASTRA OBJEKTIF DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK PADA CERPEN LANGIT MAKIN MENDUNG KARYA KIPANDJIKUSMIN


By:
Hikhmah Oky Pravitasari
 KKT A

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN 2012

PENGANTAR
       Pada dasarnya karya sastra terdiri dari tiga macam, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama.  Prosa fiksi disebut juga cerita rekaan. Ada beberapa hal yang perlu dipaparkan berkait dengan pembedaan jenis prosa fiksi, yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu cerita pendek (cerpen) dan novel. Menurut Najid (2009:21) cerpen ialah prosa fiksi yang relatif pendek. Berbeda dengan novel yang relatif lebih panjang, meskipun demikian sangat mungkin sebuah cerpen bila dilanjutkan akan menjadi sebuah novel. Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Kali ini saya akan membeda kajian kritik sastra pada cerpen Langit Makin Mendung dengan pendekatan objektif.
Cerpen "Langit Makin Mendung" dimuat di Majalah Sastra, Th. VI.No. 8, Edisi Agustus 1968.Cerpen ini menunai kontroversi yang luar biasa.Umat Islam pada waktu itu yang berada dalam kondisi yang sensitif memprotes atas dimuatnya cerpen yang, menurut mereka, bisa merusak akidah mereka.Akhirnya majalah Sastra dibredel. Pimrednya HB. Jassindijebloskan ke dalam penjara gara-gara tidak mau mengungkapkan identitas Ki Panji Kusmin pengarang cerpen ini.Sammpai saat ini identitas pengarang cerpen ini belum terkuak.Dalam buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Dahlan, 2004), disebutkan ada dua kemungkinan mengenai hal itu. Pertama, Kipandjikusmin adalah H.B. Jassin sendiri. Kedua, Kipandjikusmin adalah seorang penulis pemula yang tinggal di Yogyakarta dan tengah kuliah di sebuah universitas Islam. Dan, menurut catatan editor buku Pleidoi Sastra, kemungkinan yang kedualah yang mendekati kebenaran.
       Kalau kita baca cerpen itu secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal, maka pesan kuat yang hendak disampaikan Kipandjikusmin adalah kritiknya terhadap Presiden Soekarno, Soebandrio, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Dalam pembacaan saya, Kipandjikusmin tidak menjelekkan agama Islam. Yang dijelekkannya adalah Rezim Soekarno, yang saat itu telah dilengserkan dan ditahan RezimSoeharto(Sambodja,2006).
        Namun, bumbu-bumbu yang digunakan oleh Kipandjikusmin itulah yang dipersoalkan. Cerpen itu tetap dianggap sebagai menghina agama Islam. H.B. Jassin terpojok, namun sastrawan-sastrawan Manikebu membelanya, tapi tidak membela Kipandjikusmin. Taufiq Ismail, misalnya, mengatakan cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan ataupun agama Islam. “Kipandjikusmin melakukan kekeliruan besar dalam akidah mungkin karena ketidaktahuannya saja. Cerpen ‘Langit Makin Mendung’ itu sendiri tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk,” kata Taufiq Ismail (lihatPradopo,2002).
        Meski cerpen ini dipandang banyak menuai kontroversi, ada dokumentasi sosial yang digambarkah oleh cerpen ini tentang keadan masyrakat, caut-marut politik, ideologi pada era 1960-an. Karena itu, penulis tertarik untuk menganalisisnya dengan pendekatan objektif.  Penulis memfokuskan kajian Langit Makin mendung pada karya sastra itu sendiri.
Pendekatan Pragmatik
        Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut. Contohnya dalam cerpen langit makin mendung karya Kipandjukusmin dimana terjadi pergolakan dan pertentangan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai sosial di masyarakat. Banyak kontroversi yang terjadi dalam cerpen makin mendung ini. Diantaranya terdapat perbedaan pendapat dariberbagai tokoh, diantaranya adalah sebagai berikut, penulis mangambil sumber dari internet.
Ali Audah (dalam Damono, 1987) menilai cerpen “Langit Makin Mendung” tidak menghina agama, karena agama terlalu agung dan luhur untuk dapat dihinakan oleh cerpen semacam itu. “Saya berpendapat nilai sastranya rendah.”
Buya Hamka yang menjadi saksi ahli dalam persidangan H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap Jassin, tapi tidak untuk Kipandjikusmin. Bahkan, dalam persidangan itu Hamka meminta agar H.B. Jassin dibebaskan. Hamka menilai Kipandjikusmin sebagai seorang pengecut, karena berlindung di balik nama samaran dan tidak memperlihatkan jati dirinya. Dari segi isi cerita, kalau Kipandjikusmin mengkritik konsep Nasakomnya Soekarno saat Nasakom sudah habis, menurut Hamka, sama saja dengan orang yang menantang berkelahi bangkai yang telah mati. Sikap kesatria itu adalah yang diperlihatkan H.B. Jassin dan kawan-kawan ketika mereka mengeluarkan Pernyataan Manifes Kebudayaan di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih di puncak dan Nasakom masih berkuasa (Dahlan, 2004).
Ketika hakim menanyakan kepada Hamka sebagai Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, apakah cerpen itu akan memuat cerpen “Langit Makin Mendung” jika dikirimkan ke majalahnya, Hamka menjawab, “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” (Dahlan, 2004).

Kalau membaca komentar sastrawan-sastrawan Manikebu—dan Islam—di atas, tampak jelas bahwa mereka menilai karya Kipandjikusmin itu rendah mutu sastranya. Kalau karya itu dinilai rendah, kenapa dimuat di majalah Sastra? Kenapa H.B. Jassin memuat karya itu di majalah sastra yang bergengsi itu? Dalam persidangan, Jassin tetap bersikukuh bahwa dilihat dari segi kritik sastra, cerpen itu bermututinggi(Damono,1987).

Kriteria apakah yang membuat suatu karya sastra bermutu tinggi dan bermutu rendah? Bagi pengamat sastra yang berprinsip karya sastra sebagai karya yang otonom, maka ukurannya adalah kepiawaian pengarang dalam mengolah unsur-unsur karya sastra itu. Bagi pengamat sastra yang berpendirian bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, maka yang menjadi ukuran adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.

Tapi, kalau dilihat dari segi yang lain. Kontroversi semacam ini akan menjadi catatan sejarah yang penting. Katakanlah cerpen “Langit Makin Mendung” bermutu rendah. Namun, sampai sekarang karya itu masih terus dibicarakan, sementara karya sastra “yang bermutu tinggi” yang terbit bersamanya luput dibicarakan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah karya itu bertarung sendiri dengan waktu.

Pembelaan H.B. Jassin terhadap Kipandjikusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. Bisa dibayangkan kalau hanya gara-gara diprotes masyarakat mayoritas dan kalangan sastrawan diam dan takluk begitu saja, maka tamatlah riwayat sastra. Dari sini terlihat bahwa lembaga sensor bukan hanya dari penguasa (negara) saja, melainkan dari masyarakat juga. Dan sastrawan memang sejatinya tidak menyerah begitu saja. Menulis karya sastra terkadang harus pula siap menghadapi segala risiko.
Dalam kasus ini saya melihat kebesaran seorang H.B. Jassin yang berani menghadapi segala risiko. Ia tidak hanya membela seorang penulis baru seperti Kipandjikusmin, tapi juga membela penulis besar seperti Chairil Anwar dan Hamka yang dituduh sebagai plagiator. Tidak salah kalau A. Teeuw menjuluki H.B. Jassin sebagai Wali Penjaga Sastra Indonesia.
       Dari pendapat diatas dapat dikaji dengan pendekatan pragmatik yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Dalam cerpen langit makin mendung digunakan kipandjikusmin sebagi sarana kritikan pada pemerintahan pada saat itu. Dia sengaja tidak memberi tahu siapa jati dirinya. Karena cerpen ini sangatlah fenomena pada masa itu yang notabene pada masa itu adalah masa orde lama. Karya sastra seperti ini pasti memiliki nilai estetika yang sangat tinggi karena membuat berbagai persepsi dari berbagai orang. Penokohan- penokohan yang diapakai tidak menggunakan nama-nama orang biasa. Tetapi Kipandjikusmin dengan sangat berani dan dengan bahasa yang lugas menggunakan nama-nama nabi beserta gelar, bahkan nama tuhan juga disejajarkan dengan nama-nama nabi.  Masalah-masalah yang muncul disini juga sangat sarat dengan dunia politik, agama, ekonomi dan budaya. Meskipun cerpen ini banyak yang memprotes, tetapi nilai-nilai positif juga banyak diselipkan oleh pengarang. Karya sastra ini ingin membandingkan sikap penguasa yang benar dan salah, sikap rakyat yang baik dan benar maupun keterlaksanaan agama yang benar itu bagaimana. Kesimpulannya meskipu cerpen ini banyak menuai kritik, tetapi banyak nilai-nilai positif yang disisipkan dalam cerpen ini. Tidak selamanya kritik itu merusak, bahkan banyak kritik yang membangun dan menikkatkan dunia sastra.
Kritik Sastra Objektif
         Teori kritik sastra objektif merupakan teori yang harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya.  Karya sastra cerpen yang berjudul Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin ini sangatlah fenomenal, karena cerpen ini sarat akan nilai-nilai kritik sosial, budaya, agama maupun politik. Cerpen Langit mendung seakan mengerebak dunia orde lama, yang pada masa itu masih pemerintahan berpusat pada penguasa.. Adanya jurang pemisah antara penguasa dan rakyat sangatlah signifikan. Moral agama yang notabene mayoritas penduduk Indonesia saat itu beragama islam, tetapi dialog yang digunakan antara tokoh nabi Muhammad, nabi adam, dan tuhan menunjukkan moral bangsa yang semakin rendah, selain itu moral rakyat semakin bejat ditunjukkan denagn dialog antara rakyat jelata dengan perempuan kelas rendah yang berhubungan intim dimanapun dan kapanpun. Cerpen tersebut menunjukkan sinkronisasi antara dialog di cerpen dengan pemerintahan saat itu yaitu di negara Indonesia.











DAFTAR PUSTAKA

Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.

Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar