By : Hikhmah Oky Pravitasari
12 Maret 2012
A.
PENGANTAR
Kata “drama” berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat,
berlaku, bertindak, beraksi, dan sebagainya. Ada beberapa pengertian yang
dirumuskan oleh banyak ahli di bidang drama. Menurut Aristoteles, drama adalah
tiruan (imitasi) dari action. Menurut Moulton, drama adalah hidup yang
dilukiskan dengan gerak (life presented action). Menurut Ferdinand Brunetierre,
drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Balthazar
Verhagen, drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dengan
gerak. Menurut Dietrich, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk
dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas
di hadapan penonton (audience). Sedangkan Nadjid (2009:18) mendefinisikan drama
sebagai karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog para tokoh. Dalam
makalah ini akan dibahas kajian semiotik dalam drama Orkes Madun 1 madekur dan
Tarkeni.
Naskah drama Orkes Madun Karya Arifien C. Noer ini merupakan caturlogi
dari naskah drama Madekur dan Tarkeni, Umang-umang, Sandek Pemuda Pekerja, dan
Ozone. Semula naskah drama Orkes Madun dinyatakan dalam bentuk trikologi, namun
seiring waktu naskah drama Orkes Madun menjadi pentalogi dengan naskah kelima
yang berjudul Magma. Sayangnya sebelum Magma terwujud dalam bentuk naskah jadi,
Arifien C. Noer meninggal.
Arifin C. Noer--nama lengkapnya Arifin Chairin Noer adalah dramawan,
penulis sajak, penulis skenario, serta sutradara film dan sinetron. Ia
dilahirkan di kota Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 dan meninggal di Jakarta,
28 Mei 1995. Ia mulai menulis sejak duduk di bangku SMA di kota Solo akhir
tahun 1950-an. Karya-karyanya tersebar di berbagai penerbitan, surat kabar, dan
majalah, antara lain, Indonesia, Sastra, Gelora, Basis, Suara Muhammadiyah, dan
Horison. Mula-mula tulisannya berupa sajak curahan perasaan cintanya kepada
seorang gadis, Nurul Aini (1963), yang kemudian ternyata menjadi istrinya.
Demikian pula naskah lakon yang ditulisnya, misalnya "Prita Istri
Kita" (1967) yang kemudian dipersembahkan sebagai mas kawinnya. Kemudian,
Arifin menulis sajak dan naskah lakon yang sangat religius, humanis, sosial,
dan absurd. Ia juga menulis skenario film dan sinetron serta kritik dan esai
drama dan seni pentas yang lain.
Buku
kumpulan sajaknya adalah (1) Nurul Aini (1963), (2) Siti Aisah (1964), (3)
Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967), (4) Selamat Pagi, Jajang (1979), dan
(5) Nyanyian Sepi (1995). Buku dramanya adalah (1) Lampu Neon (1960), (2)
Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), (3) Nenek Tertjinta (1963), (4) Prita
Istri Kita (1967), (5) Mega-Mega (1967), (6) Sepasang Pengantin (1968), (7)
Kapai-Kapai (1970), (8) Sumur Tanpa Dasar (1971), (9) Kasir Kita (1972), (10)
Tengul (1973), (11) Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni (1974), (12)
Umang-Umang (1976), (13) Sondek, Pemuda Pekerja (1979), (14) Dalam Bayangan
Tuhan atawa Interogasi I (1984), (15) Ari-Ari atawa Interograsi II (1986), dan
(16) Ozon atawa Orkes Madun IV (1989).
B.
Kajian
Semiotik
Pada analisis naskah drama Orkes Madun ini menggunakan kajian simbolisme
dengan teori semiotik sebagai kerangka berfikir. Kajian simbolisme digunakan
dengan pertimbangan kehidupan manusia tidak lepas dari perangkat simbolisme,
sebab manusia adalah animal symbolicum.
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.
Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander
Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang
berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar
belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai
ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan berikut.
Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu
yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion,
bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan
(luxemburg, 1984:44). Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang
yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan
yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaiutu Charles
Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama
semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu
sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis
dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak
dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra,
penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa
yang bergantung pada konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri wacana
yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119).
”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign),
berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18). Dalam pandangan Zoest,
segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.
Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya
peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini
dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata,
suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak
syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang
tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap,
berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut
tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu
dianggap sebagai tanda.
Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra
dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak
dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan
sebab-akibat (dalam pengertian luasnya).
Semiotik merupakan lanjutan dari
penelitian strukturalisme.
C. Pendekatan Semiotik “melati putih” dalam
naskah drama Orkes Madun Madekur Tarkeni karya Arifin C Noer
Dalam naskah Drama Orkes Madun Madekur Tarkeni, Arifin C Noer ingin menceritakan
sebuah kisah tentang tokoh utama yang bernama Madekur dan Tarkeni. Adapun yang
pertama adalah simbol dan makna dalam naskah drama Madekur dan tarkeni meliputi
Semar, melati hitam dan melati putih, Gurem, Borok, bulan, dan keranda. Disini
saya akan membahas tentang kajian semiotik “melati putih” dalam naskah drama
Orkes Madun Madekur Tarkeni. Fungsi simbol pada naskah drama Orkes Madun adalah
merangsang daya imajinasi pembaca.
Bunga Melati lambang kesucian nan
sederhana apalagi dengan warna putih dan bau harumnya. Karenanya bunga Melati
sering dikaitkan dengan berbagai tradisi di berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan salah satu spesiesnya yakni Melati Putih ditetapkan sebagai puspa
bangsa, satu dari tiga bunga nasional Indonesia.
Melati merupakan sekumpulan tanaman perdu yang dikelompokkan dalam gebus
Jasminum. Bunga berbau harum yang menjadi lambang kesucian dan kemurnian ini terdiri
atas lebih dari 200-an jenis yang tersebar di seluruh dunia. Beberapa jenis
diantaranya telah dibudidayakan manusia.
Tanaman dengan aroma wangi dan menjadi
lambang kesucian dan kepercayaan pada
pasangan ini berasal dari Asia Selatan dan tersebar hampir
di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tiap spesies memiliki habitat yang
berbeda, namun secara umum melati menyukai habitat beriklim tropis pada daerah
dataran rendah hingga ketinggian 1.600 meter dpl.
Bunga melati mempunyai berbagai manfaat
mulai sebagai bunga tabur, bahan pembuatan minyak wangi, kosmetika, farmasi,
karangan bunga, campuran teh hingga menjadi tanaman obat. Selain itu bunga
melati juga sering menjadi alat pelengkap berbagai tradisi yang terdapat di
berbagai daerah di Indonesia seperti dalam upacara perkawinan. Eratnya berbagai
tradisi di nusantara yang berkaitan dengan bunga melati tidak terlepas dari
makna filosofis bunga melati yang melambangkan kesederhanaan. Ini terlihat dari
sosok tanaman melati yang sederhana, tumbuh meliar dan mempunyai bunga yang kecil seakan
melambangkan kesederhaan.
Warnanya yang putih bersih serta tidak
mencolok, bunga ini melambangkan kesucian dan keelokan budi. Bunga Melati
mengeluarkan aroma harum yang lembut dan tidak menusuk hidung memberikan makna
dan kesan lembut, nyaman, dan tenang. Di samping itu, tumbuhan ini dapat tumbuh
dengan mudah tanpa membutuhkan perawatan yang rumit dan berbunga sepanjang
tahun.
Dalam
orkes madun 1 terjadi perdebatan tentang mawar putih dan mawar hitam.
Kutipannya sebagai berikut.
Nah,
biarkanlah saya mengumpamakan persoalan ini dengan dua tangkai bunga melati dan
seorang gadis delapan tahun. Yang setangkai berwarna putih, sedang setangkai
lagi berwarna hitam. Mula-mula sudah jelas gadis itu merasa heran dan sangat
lama bertanya dalam hati kenapa ada setangkai bunga melati yang berwarna hitam,
sekalipun sebelumnya dia tidak pernah merasa heran bertanya dalam hati ketika
pertama kalinya ia melihat bunga melati berwarna putih.
Begitulah
seperti yang saya bilang tadi bahwa gadis itu lama bertanya dalam hati, lama
merasa heran. Tapi heran yang lama. Kemudian menjelma menjadi takjub dan
akhirnya hati gadis itu tertarik ingin melati yang hitam. Begitulah ketika
jari-jarinya yang lembut bergetar oleh kekaguman siap mematahkan melati hitam
dari tangkainya, gadis itu tiba-tiba ingat bahwa rambutnya juga berwarna hitam.
Selain itu ia juga ingat tidak seorang pun di Jatibarang yang menghias
rambutnya dengan melati hitam, bahkan sekalipun perempuan yang ebrambut putih
seperti neneknya.
AYAH & AYAH
Sebentar,
sebentar. Lebih baik kamu singkatkan saja bicaramu. Bagaimana?
IBU & IBU
Kamu sendiri
bagaimana? Kamu akan memetik melati putih atau melati hitam?
AYAH & AYAH
Seperti umumnya
orang saya amemetik melati putih yang sudah pasti keindahannya.
IBU & IBU
Tapi kamu tidak
tahu bahwa melatih hitam itu mempunyai warna putih di sebelah dalam dan malah
di dalamnya ada sebutir berlian sebesar geraham saya yang tanggal beberapa
tahun lalu
AYAH & AYAH
Mana mungkin!
Lagi kamu tidak mengatakan hal itu sebelumnya.
IBU & IBU
Karena melati
hitam itu belum jelas maka kemungkinannya tentu lebih luas.
MAD & TAR
Juga melati
hitam telah saya petik ketika ayah memetik yang putih
AYAH & AYAH
Tidak bisa. Saya
belum memetik, baru berniat memetik dan sekarang saya akan memetik melati yang
hitam
MAD & TAR
Tidak bisa, yang
hitam telah saya petik
AYAH & AYAH
Tidak bisa, yang
hitam milik saya
MAD & TAR
Tidak bisa, luar
bisaa harumnya
AYAH & AYAH
Ya Tuhan
harumnya
AYAH &AYAH
Kurang ajar.
Lepaskan melati itu
MAD & TAR
Ya Tuhan,
harumnya
AYAH & AYAH
Lepaskan,
bajingan.
MAD & TAR
Harumnya
AYAH &AYAH
Bajingan
IBU & IBU
Begitulah,
siapapun pasti akan memilih yang terbaik. Tapi tahukah bahwa yang terbaik
adalah melati putih?
MAD & TAR
Kalau begitu
biarlah yang hitam untuk bapak.
AYAH & AYAH
Kamu jangan
kurang ajar, nak. Melati putih itu telah saya petik.
MAD & TAR
Mana mungkin,
padahal bapak baru saja berniat akan memetiknya. Tidak, pak. Biarlah yang putih
buat saya.
AYAH & AYAH
Nak, golok di
dapur Cuma sebilah dan itu milik saya
MAD & TAR
Biarlah bapak
mengambil golok dan saya memetik melati putih
SANGAT TIBA-TIBA
SEKALI, AYAH DAN AYAH MENGHUNUS GOLOK ITU DAN SIAP AKAN MEMANCUNG KEPALA MAD
& TAR DAN IBU & IBU MENJERIT
IBU & IBU
Saya lupa
memberitahu bahwa yang putih ada dua tangkai dan kesimpulannya kalian berdua
sama-sama bersikeras menghendaki yang terbaik (Mendekati anaknya) nak, kamu
ingin senang, bukan?
MAD & TAR
Senang sekali, bu.
Dari naskah drama di atas antara ibu-ibu, ayah-ayah dan Madekur dan
Tarkeni terjadi perdebatan dan saling memutuskan untuk memetik melati lebih
dahulu. Pertama ayah-ayah dan ibu-ibu saling berebut untuk melatih putih,
karena kita tahu bahwa putih melambangkan kesucian. Tetapi setelah ibu
berargumen bahwa melati hitampun juga memiliki warna putih di dalamnya.
Ayah-ayah menginginkan melati hitam. Ini artinya bahwa melati hitam
melambangkan keburukan tetapi ada filosofi lain yang terdapat warna putih di
dalam hitam. Sehingga dapat diartikan bahwa lambang putih disini mempunyai
arti, meskipun luarnya buruk tetapi dalamnya baik. Tetapi ketika Tarkeni dan
Madekur meminta untuk memetik melati putih karena yang hitam sudah dipetik
ayah-ayah. Ayah-ayah tidak terima dan menginginkan melati putih kembali.
Disini kita tahu bahwa Tarkeni dan Madekur sendiri menginginkan melati
yang putih. Melati putih disini melambangkan bahwa putih berarti ketulusan dan
kesetiaan antara Madekur dan Tarkeni. Diceritakan pula bahwa cinta tulus mereka
terbawa sampai akhir hayatnya. Meskipun masa lalu keduanya kelam. Tetapi antara
Madekur dan Tarkeni terjalin hubungan yang tulus dan setia. Jadi kesimpulannya
bahwa makna melati putih disini adalah kesetiaan Madekur dan Tarkeni.
DAFTAR PUSTAKA
Najid,
M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi.
Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmad Djoko. 1990. Beberapa Gagasan dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: kanisius
http://melayuonline.com/ind/article/read/931/kajian-semiotik-dalam-novel-novel-mochtar-lubis
diakses 20 Maret 2012
http://digilib.unesa.org/index.php?com=digilib&view=detil&id=8321
diakses 20 Maret 2012
http://situseni.com/agenda-seni/1133-orkes-madun-i-atawa-madekur-a-tarkeni
diakses 20 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar