KAJIAN SASTRA
ANALISIS UNSUR
BAWAH SADAR NOVEL “MERAHNYA MERAH” KARYA IWAN SIMATUPANG
Kelompok 1
1.
Alfanita
Zuraida
2. Hikmah Oky
Pravitasari
3.
Lailatul
Rofi’ah K.W.
4.
Inna Hamida
PROGRAM
KEPENDIDIKAN DENGAN KEWENANGAN TAMBAHAN (KKT)
PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
2012
ANALISIS UNSUR
BAWAH SADAR NOVEL “MERAHNYA MERAH” KARYA IWAN SIMATUPANG
Iwan
Martua Dongan Simatupang atau yang dikenal dengan nama Iwan Simatupang
merupakan salah satu penulis Indonesia yang lahir di Sibolga, Sumatra Utara
pada tahun 1928 dan meninggal di Jakarta pada tahun 1970. Iwan masuk Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953 tapi
studinya tidak selesai. Pada akhir tahun 1954, dia menuju Amsterdam, Belanda
untuk belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting
voor Culturele Samenwerking), bidang antropologi di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden, lalu masuk
jurusan Filsafat Barat Universitas Sorbonne, Paris, Perancis.
Semasa hidupnya, Iwan banyak menulis
drama, cerpen, dan novel. Karya-karyanya banyak dimuat di majalah Siasat dan
Mimbar Indonesia mulai tahun 1952. Dua
novel karya Iwan Simatupang,Ziarah dan
Merahnya Merahbahkan pernah mendapatkan penghargaan. Ziarah mendapatkan hadiah
roman ASEAN pada tahun 1977 dan Merahnya Merah mendapatkan hadiah sastra
nasional pada tahun 1970. Novel terakhir inilah yang akan dibahas dalam artikel
ini.
Merahnya
Merah menceritakan tentang cinta segi empat antara tokoh Kita, Maria, Fifi, dan
Centeng. Tokoh kita digambarkan sebagai seorang laki-laki calon rahib, dia merupakan
seorang komandan, diakhir revolusi dia adalah seorang algojo pemacung kepala
kepada pengkhianat-pengkhianat yang tertangkap dan sesudah revolusi dan sesudah
revolusi dia masuk rumah sakit jiwa. Tokoh kita kemudian bergabung dengan
komunitas gelandangan yang salah satu anggotanya adalah Maria. Maria merupakan
wanita setengah baya yang dianggap “Ibu” oleh para gelandangan. Masa lalu Maria
sangat kelam karena dia pernah diperkosa. Cita-citanya menjadi perawat namun
pupus karena takut darah. Akhirnya Maria menjadi seorang pelayan di restoran
katolik
Tokoh
Maria dan tokoh kita kemudian menjalin sebuah hubungan cinta, jalinan mesra ini
renggang karena adanya tokoh Fifi yang dibawa oleh tokoh Kita ke dalam komunitas
Gelandangan. Tokoh Fifi digambarkan sebagai gadis berusia 14 tahunyang menjadi
pelacur kelas teri agar tetap bertahan hidup. Dari awal kedatangan Fifi, Maria
sudah merasa tidak suka dengan kedatangan Fifi. Setelah kedatangan Fifi, Maria
yang awalnya murah senyum berubah menjadi sosok yang pemarah dan pencemburu.
Hal ini disebabkan kedekatan Fifi dengan tokoh Kita. Maria akhirnya mau
menerima keberadaan Fifi karena didesak oleh tokoh Kita. Maria tidak bisa
berbuat apa-apa karena sikap penurutnya pada tokoh Kita.
Suatu
hari, Fifi menghilang. Para gelandangan mencoba mencari Fifi kemana-mana tapi
tidak berhasil menemukannya. Hal
inimenimbulkan kekecewaan dalam tokoh Centeng sebagai ketua komunitas
gelandangan. Dia merasa malu dan terhina karena tidak dapat menemukan Fifi. Hal
ini karena selama ini Pak Centeng selalu berhasil dalam menjalankan suatu misi.
Setelah Fifi menghilang, ternyata tokoh Kita juga menghilang.Setelah itu disusl
Maria yang pergi entah kemana.Pak Centeng semakin marah dan merasa terhina
setelahkepergianMaria. Seluruh anggorta kelompok gelandanagn dikerahkan untuk
mencari ketiga tokoh ini namun hasilnya nihil. Lagi-lagi Pak Centeng merasa
terhina karena martabatnya sebagai centeng yang jagoan telah menjadi rendah.
Para polisi pun kemudian dikerahkan namun tetap saja hasilnya nihil.
Tiba-tiba
tokoh kita kembali muncul dalam komunitas gelandangan.Tokoh Kita menceritakan
bahwa Fifi telah mati dibunuh oleh Maria karena Maria merasa cemburu oleh
keberadaan Fifi dan kedekatan Fifi dengan tokoh Kita. Setelah Maria membunuh
Fifi, Maria kemudian masuk biara, mengakui kesalahannya, dan mengabdikan
dirinya untuk Tuhan, berharap dirinya akan diamouni. Para gelandanag terharu
mendengar cerita dari tokoh Kita, namun dia juag menyalahkan tokoh Kita yang
menjadi sebab kejadian itu.
Di
lain pihak, Pak Centeng marah pada tokoh Kita. Dulu sebelum tokoh Kita datang
ke komunitas gelandangan, komunitas mereka baik-baik saja. Bahaknam, Maria dulu
adalah kekasihnya. Setelah tokoh kita datang, Maria meninggalkannya untuk
bersama tokoh Kita. Krean kemarahannya sudah terlalu besar dan tak tertahankan pada
tokoh Kita, Pak Centeng akhirnya menebas kepala tokoh Kita. Dalam sekali tebas,
kepala tokoh kita terpisah dari badannya. Karena kenekatannya ini polisi
akhirnya menembak kepala Pak Centeng.Mereka
berdua tergeletak tak bernyawa dan dikuburkan dengan upacara militer yang
dihadiri pejabat tinggi negara.
Objek
kajian sastra ini adalah novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, cetakan
keenam tahun 1987, dan diterbitkan oleh Gunung Agung Jakarta. Data yang kami
gunakan adalah dalam wacana yang terkandung dalam teks Merahnya Merah. Selain
itu, data sekunder yang kami gunakan adalah data teori psikoanalisis Sigmund
Freud untuk senjata menganalisis unsur bawah sasar atau ketidaksadaran tokoh
dalam novel ini. (1) Masalah unsur bawah sadar tokoh, (2) bawah sadar latar,
(3) bawah sadar alur, dan (4) makna bawah sadar Merahnya Merah sebagai sublimasi
atau transformasi emosi.
Hasil
dan Pembahasan
Berdasarkan
analisis unsur bawah sadar tokoh novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang
dengan kajian psikoanalisis, kenyataannya pada analisis strukturalisme, banyak
mengalami penyimpangan konvensi sastra meliputi antitema, antialaur, antitokoh,
antiseting, dan monolog interiour.
Pembahasan
tema Merahnya Merah adalah kegelandangan manusia sebagai akibat kesunyian dan
kerinduan akan nilai-nilai kebenaran. Kegelandangan tersebut dapat bermula dari
kebutuhan biologis para tokoh seperti Maria, Pak Centeng, dan Fifi, sedangkan
kegelandangan yang bukan merupakan cita rasa material adalah Tokoh Kita.
Dorongan kesadaran sebagai manusia modern mutlak diwujudkan sebagai protes
tentang hakikat dan tujuan hidup manusia disampaikan melalui pemikiran dan
perenungan.
Alur
novel Merahnya Merah sering disebut dengan alur inkonvensional terkesan tampak
tidak teratur karena secara spontanitas dapat terjadi dalam peristiwa apa pun.
Penyimpangan terhadap logika terjadi sehingga kejadian dalam novel terasa
meloncat-loncat. Irama kejadian sering
tidak teratur maju-mundur dan mendadak tanpa perencanaan. Hal ini tampak jelas
sejak halaman pertama yang sudah menunjukkan tumpukan persoalan dan membuat
kejutan-kejutan yang dipadatkan (sejak Tokoh Kita sebelum revolusi, selama
revolusi, dan sesudah revolusi). Sorot balik sering dijumpai dalam Merahnya
Merah. Alur novel terasa lamban karena pengarang sering mengulur-ulur cerita
sehingga menjadi panjang. Gambaran ini tampak ketika Iwan Simatupang asyik
menceritakan hilangnya Fifi secara misterius dibunuh Maria yang cemburu,
tiba-tiba diputus dengan sorot balik “operasi” Maria yang panjang lebar.
Penggambaran
tokoh-tokoh Merahnya Merah sangat menarik karena tidak dilukiskan seperti
kebiasaan yang berlaku dalam novel konvensional. Tokoh tidak digambarkan dengan
hukum sebab akibat, logika, kasualitas yang senantiasa dijungkirbalikkan. Salah
satu hal adalah penamaan tokoh itu tidak dipentingkan, atau disebut dengan
“tokoh tanpa nama”, meskipun tidak semuanya, seorang tokoh utama hanya disebut
sebagai “Tokoh Kita” dan seperangkat bekas. Tokoh antagonis hanya disebut
dengan kepangkatan atau profesi, misalnya : “Centeng”, “profesor”, “pangdak”,
“komandan kompi”, “pangdam”, “dokter”, “mantri polisi”, dan sebagainya. Namun,
ada juga tokoh antoganis yang diberi nama seperti Maria, Fifi, dan Icih.
Tokoh-tokoh ini adalah tokoh idealis yang terbuka ke segala penjuru. Mereka
adalah tokoh-tokoh idealis yang tingkah lakunya sering berbenturan dengan
ketidaklogisaan pembaca. Penggambaran tokoh-tokoh Merahnya Merah meskipun
fiktif belaka, merupakan imajinasi pengarang.
Novelnya
Merahnya Merah memakai latar atau setting tempat berupa perkampungan
gelandangan, stasiun, gereja, alun-alaun, rumah sakit jiwa, perkuburan,
poliklinik, dan jalan raya. Di tempat inilah, para tokoh biasa bermain
melakukan aksinya. Selain itu dalam latar Merahnya Merah dilukiskan latar yang
masih terdapat dalam lamunan, angan-angan, keinginan-keinginan tokoh-tokoh yang
tidak terucapkan, atau dari perilaku tokoh yang tidak normal. Di dalam latar
Merahnya Merah, dilukiskan keinginan Fifi mengawini Tokoh Kita kemudian hidup
bersama tidak menjadi seorang gelandangan. Keinginan, bayangan, dan cita-cita
Fifi tersebut akhirnya tidak menjadi kenyataan.
Dalam
analisis gaya arus kesadaran gaya bahasa Merahnya Merah, pengarang menampilkan
gaya arus kesadaran. Gaya ini berfungsi sebagai alat untuk memperkenalkan
kehidupan batin pelakunya secara langsun, tanpa sisertai campur tangan atau
komentar pengarang. Gaya arus kesadaraan memungkinkan tokoh utama Merahnya
Merah menampilkan dirinya sendiri, pikirannya, melalui cakapan sehingga suasana
cerita menjadi dinamis.Berdasarkan analisis bawah sadar tokoh novel Merahnya
Merah karya Iwan Simatupang, dengan kajian psikoanalisis, pemahasannya meliputi
(1) masalah unsur bawah sadar tokoh, (2) bawah sadar latar, (3) bawah sadar
alur, dan (4) makna bawah sadar Merahnya Merah sebagai sublimasi atau
transformasi emosi.
Gambaran
tokoh-tokoh Merahnya Merah merupakan interaksi dari tiga begian kepribadian Id,
Ego, dan Superego. Id terdiri aas Eros (libido) dan Thanatos (kematian).
Kenyataannya, para tokoh Merahnya Merah terbagi menjadi dua. Golongan pertama
adalah tokoh-tokoh yang lebih banyak ditemukan, semuanya merupakan harapan yang
berafiliasi pada Eros sebagai naluri kehidupan. Perilaku tersebut tampak
dominan pada tokoh Kita, Maria, Fifi, dan Pak Centeng. Perilaku-perilaku itu,
seperti percintaan bebas yang berakhir dengan hubungan seksual dan hidup bebas
sebagai seorang gelandangan. Perilaku-perilaku yang berafiliasi pada Thanatos,
diantaranya sebagai algojo pemancung kepala tawanan perang dan pembunuhan Maria
kepada Fifi, dan juga pemenggalan Pak Centeng kepada Tokoh Kita. Perilaku
tersebut sebenarnya menyirakan keingingan tokoh untuk menghancurkan kehidupan
menuju kematian.
Analisis latar bawah sadar muncul
berdasarkan keinginan tokoh-tokohnya untuk memiliki sesuatu dan keinginan itu
masih berada dalam angan-angan yang dapat dibuktikan melalui ucapan tokoh yang tidak
terkontrol, harapan, cita-cita, dan mimpi.
Analisis alur bawah sadar dalam
Merahnya Merah terdapat berbagai alur. Alur lurus yang mengisahkan kehidupan
tokoh utama sempai meninggal dunia. Alur sorot balik mengisahkan peristiwa masa
lampau yang muncul dari angan-angan atau renungan para tokoh lainnya. Alur ini
merupakan hasil dari sepuluh pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui
peristiwa penting bersumber pada tokoh utama. Adapun pernyataan-pernyataanya
sebagai berikut:
(1) mengapa Tokoh Kita memilih keluar sebagai
calon rahib untuk menjadi anggota pasukan,
(2) mengapa Tokoh Kita sebagai seorang algojo,
(3) mengapa Tokoh Kita masuk rumah sakit jiwa,
(4) mengapa Tokoh kita menjadi gelandangan,
(5) mengapa Tokoh Kita mencintai Maria,
(6) mengaa Tokoh Kita menggagumi Fifi
(7) mengapa Tokoh Kita mengadakan pencarian
terhadap hilangnya Fifi,
(8) mengapa Tokoh Kita kembali ke perkampungan
gelandangan setelah menghilang
(9) mengapa Tokoh Kita dibunuh Pak Centeng, dan
(10) mengapa kematian Tokoh Kita mendapat
penghormatan dari pangdak, pangdam, dan mantri kesehatan.
Analisis
makna bawah sadar sebagai sublimasi dapat diuraikan sejumlah makna. Penelusuran
makna itu berwujud makna perjuangan, makna kegelandangan, dan berakhir pada
makna kematian. Hal ini menunjukkan kenyataan keidakmampuan tokoh utama
mencapai makna sublimasi dan pencapaian kesempurnaan.
Berdasarkan
analisis unsur bawah sadar dalam novel Merahnya Merah dengan psikosanalisis,
dapat ditemukan beberapa hal pokok yang merupakan kesimpulan hasil pembahasan.
Merahnya
Merah adalah novel kesadaran mengandung unsur-unsur strukturalisme, dan
mengandung butir-butir eksistensialisme, kebebasan yang membawa kebaruan dalam
tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Kebaruan tersebut berupa penyimpangan konvensi
sastra yang sudah ada pada novel konvensional. Pengarang melalui tokoh-tokoh
cerita secara implisit menyampaikan gambaran melalui perilaku-perilaku tokoh
berupa kritik sosial. Kritik sosial lebih ditekankan pada hakikat penelusuran
nilai kebenaran yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini. Nilai-nilai itu
adalah nilai moral, nilai agama, nilai perjuangan, nilai kemanusiaan, dan
sebagainya.
Analisis
penelusuran unsur bawah sadar tokoh dapat diketahui bahwa tokoh utama sering
melakukan penyimpangan perilaku yang dipengaruhi unsur bawah sadar. Pengaruh
bawah sadar tersebut membuktikan hadirnya peranan Ego dalam memberikan ruang
bagi Id untuk bebas berkreasi memenuhi dorongan naluriah. Hal ini disebabkan
oleh ketidakmampuan dalam memberikan pengarahan Id untuk tujuan lebih mulia.
Kegagalan-kegagalan semacam ini secara terus-menerus hadir mewarnai usaha
manusia dalam mewujudkan dan mempertahankan eksistensinya karena pada
hakikatnya, permasalahan kehidupan manusia itu bersifat universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar