CITRAAN DALAM KUMPULAN PUISI PEMBAWA MATAHARI
KARYA ABDUL HADI W.M
By: Hikmah Oky Pravitasari
17 Maret 2012
Puisi adalah salah satu bentuk karya
sastra yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa yang padat, indah, dan kaya
makna. Artinya ia dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih,
terseleksi, atau melalui sensor yang ketat. Menurut Najid puisi adalah jenis
sastra imajinatif yang mengutamakan unsur fiksionalitas, nilai seni, dan
rekayasa bahasa. Puisi merupakan hasil ungkapan perasaan penyair yang
dituangkan melalui kata-kata/bahasa yang sengaja dipilih penyair untuk mewakili
perasaannya. Menurut Riffaterre (Pradopo, 1987: 12-13) puisi itu menyatakan
sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal dengan arti yang
lain. Dari pengertian di atas, layaklah kalau pembaca sering mengalami
kesulitan ketika berhadapan dengan sebuah puisi. Sebab puisi adalah dunia
kata-kata yang karakternya berbeda dibandingkan dengan karakter kata dalam
tulisan-tulisan yang lain.
Menurut Herman J. Waluyo dalam
bukunya Teori dan Apresiasi Puisi (1995), secara garis besar, unsur/struktur
puisi terbagi dalam dua macam, yaitu struktur fisik dan struktur batin.
Struktur Fisik, yaitu unsur-unsur yang langsung tampak pada fisik puisi, yang
meliputi diksi, majas, rima, tipografi dan citraan. Kali ini saya akan membahas
citraan dalam kumpulan puisi pembawa
matahari karya Abdul Hadi W.M. Terdapat 28 kumpulan puisi Abdul Hadi yang
terangkum dalam kumpulan puisi Pembawa
Matahari.
CITRAAN
DALAM KUMPULAN PUISI PEMBAWA MATAHARI
Untuk memberikan gambaran yang jelas,
untuk menimbulkan suasana, untuk membuat lebih hidup dan menarik, dalam puisi
penyair juga sering menggunakan gambaran angan. Gambaran angan dalam puisi ini
disebut citraan (imagery)
Citraan atau pengimajian adalah
gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan si penyair. Setiap gambar
pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah
efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh
penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indera
penglihatan). Citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran.
Jenis/macam
citraan (imaji).
1. Citraan penglihatan
(visual imegery)
Citraan penglihatan adalah citraan yang
ditimbulkan oleh indera penglihatan (mata). Citraan ini paling sering digunakan
oleh penyair. Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indera
penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
Dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari
citraan penglihatan terdapat pada puisi berjudul Ketika Masih Bocah
Ketika
masih bocah, rumahku do tepi laut
Bila
pagi pulang dari perjalanan jauhnya
Menghalau
malam dan bayang-bayangnya
Setiap
kali ku lihat matahari menghamburkan sinarnya
Seraya
menertawakan gelombang (Hadi, 2002: 1)
Dan ada
beberapa citra penglihatan dalam beberapa puisi karya Abdul Hadi dalam yang
berjudul Pembawa Matahari yaitu pada
bait pertama
Pembawa
Matahari
Piring-piring
lokan itu pecah kembali
Membangunkan
tubuh cahaya dan si bocah
Muncul
lagi di pantai, mendirikan menara
Dan
gundukan pasir dan serakan-serakan kerang
Namun
diterbangkan oleh siang
dan
diterbangkan ke udara (Hadi, 2002: 14)
citraan
penglihatan juga terdapat pada puisi Fragmen,
terlalu Sering, Nukilan dari Lagu Syeh Siti Jenar, menjenguk rumah, Kertanagara.
Dalam puisi berjudul Fragmen di
jelaskan citra penglihatan terdapat pada paragraf pertama.
Setiap
kali kupandang tepi laut yang riuh itu
Dan
di jendela matahari telah menggerek
Bendera-bendera
yang seakan keemasan
Dengan
taring-taring api dan sepi yang menyala (Hadi, 2002:16)
Dalam puisi
berjudul Terlalu Sering, citra
penglihatan terdapat pada bait ketiga. Pada Nukilan
Lagu Syeyh Siti Jenar terdapat pada bait kelima. Sedangkam pada puii
berjudul Menjenguk Rumah citraan penglihatan terdapat pada bait kedua, yaitu:
Pohon
mangga di halaman rumah,
tampak
senantiasa lebat,mengirim cahaya
dan
akar-akarnya yang bekerja keras
dalam
kegelapan tanah dan dari
daun-daun
serta rerantingnya (Hadi, 2002:44)
sedangkan citraan penglihatan
yang lain terdapat pada puisi Abdul Hadi yang berjudul Kertanagara Fragmen Hari Akhir dan Aku Masuk .
2. Citraan pendengaran
(auditory imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang
dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan
munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, dentum, dan sebagainya.
Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh
melalui indera pendengaran (telinga). Dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari citraan penglihatan terdapat pada puisi berjudul Pembawa Matahari, bait kedua dan keempat.
Sore
itu aku duduk, membaca buku laut dan gelombang
Mendengarkan
kisah dari jauh namun dekat
Bendera
petang hampir kumal
Dan
jarum hari mulai menjahit sepi
Membentangkan
malam.
Nyanyian-nyanyian
tak semerdu dulu lagi
Tapi
masa kanak-kanakku memasang lagi telinganya
Hingga
percakapan-percakapan butir pasir bisa terdengar
Bersama kegaiban
ratusan malaikat (Hadi, 2002:44)
Puisi di
atas jelas menggunakan citra pendengaran. Indera telinga yang digunakan penyair
untuk menggambarkan suasana saat itu. Terdapat pula pada puisi berjudul Terlalu sering pada bait pertama dengan
menggunakan pencritaan telinga, sehingga menambah indah bahasa puisi tersebut.
Berikut kutipannya.
Terlalu
sering kita dengarkan jam
Berkemas
detik-detiknya
Entah
kemana dan asing bisiknya (Hadi, 2002:18)
Dalam
karya Abdul Hadi terdapat pula pencitraan pendengaran di pertengahan bait
puisinya yang berjudul Kertanagara
Fragmen Hari Akhir.
3. Citraan perabaan
(tactile imagery)
Citraan perabaan adalah citraan yang
dapat dirasakan oleh indera peraba (kulit). Pada saat membacakan atau
mendengarkan larik-larik puisi, kita dapat menemukan diksi yang dapat dirasakan
kulit, misalnya dingin, panas, lembut, kasar, dan sebagainya.Dalam kumpulan
puisi Pembawa Matahari terdapat beberapa citra perabaan yaitu menemukan diksi
yang berhubungan dengan perabaan. Seperti dalam puisi Ketika Masih Bocah pada
bait keempat,
Arus
begitu akrab denganku
Selalu
ada tempat bernaung jika udara panas
Dan
angin bertiup kencang
Tak
banyak yang mesti dicemaskan
Oleh
hati yang selalu terjaga
Pulau
begitu luas dan jalan lebar
Seperti
kepercayaan
Dan
kukenal tangan pengasih Tuhan
Seperti
kukenal getaran yang bangkit
Di
hatiku sendiri (Hadi,2002: 2)
Dalam
puisi di atas pencitraan yang dikemukakan tidak hanya pencitraan perabaan saja,
tetapi juga citra penglihatan dan perasaan. Pada kalimat pulau begitu luas dan
jalan begitu lebar menjelaskan bahwa pulau dapat dilihat ukurannya yang begitu
luas dan lebar. Dalam puisi menjenguk rumah terdapat jiga citra perabaan pada
bait ketiga.
Ya
aku pernah tumbuh bersama
Tunas-tunas
ini, bersama dahan-dahan barunya (Hadi, 2001:44)
4. Citraan penciuman
(olfactory)
Citraan penciuman adalah citraan yang
berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera penciuman.
Citraan ini tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita
seperti mencium sesuatu. Dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari belum ada
citraan penciuman.
5. Citraan gerak
(kinaesthetic imagery)
Citraan gerak adalah gambaran tentang
sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat juga gambaran gerak pada
umumnya.
Dalam
citraan gerak yang digambarkan oleh Abdul Hadi terdapat dalam beberapa puisinya
dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari yang berjudul
Kembali Tak ada sahutan di sana,jalan ke pantai, sajak kelahiran pada bait
ke-42, dan kartanagara pada hari akhir.
Kembali
tak ada sahutan disana
Ruang
itu bisu sejak lama
Dan
kami gedor terus pintu-pintunya
Hingga
runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun (Hadi, 2002:12)
Hal ini
menggambarkan jika penyair menggunkan indera gerak untuk melukiskan puisinya.
Di
langit mendung berarak
Dipandangnya
segala yang cepat bergerak
Juga
kemarau di sana
Kian
menguak (Hadi,2002:66)
Pada bait di atas citraan
yang digunakan yaitu citraan penglihatan dan gerak. Hal ini sangat berhubungan
antara satu dengan yang lain.
selanjutnya pada pertengahan bait dijelaskan pula pencitraan gerak pada
puisi yang sama
Dikamarnya
Kartanagara
memeluk seorang yogini
Montok,
buah dadanya rapat
Dengan
jepitan yang garang
Dan
siap telanjang
Tiba-tiba
ia berbisik pada dirinya sendiri
Seraya
mengecup bibir betinanya (Hadi, 2001:68)
Dalam bait di atas, penyair
mengungkapkan citraan gerak dan penglihatan. Hal tersebut menambah daya pikat
diksi dalam bahasa itu.
6. Citraan perasaan
Puisi
merupakan ungkapan perasaan penyair. Untuk mengungkapkan perasaannya tersebut,
penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambarkan dan
mewakili perasaannya itu. Sehingga pembaca puisi dapat ikut hanyut dalam
perasaan penyair. Perasaan itu dapat berupa rasa sedih, gembira, haru, marah,
cemas, kesepian, dan sebagainya. Citraan perasaan dalam kumpulan puisi Abdul
Hadi sangatlah menonjol. Terbukti pada puisi yang berjudul Jayakatwang, berikut
baitnya;
Sajakku
adalah setetes
Dari
embunnya
Dulu
aku pendosa, kini aku berdosa
Sebab
berpaling kepada arah-Nya (Hadi, 2001:60)
Penyair
menggambarkan bait di atas yang menandakan perasaan berdosa dan penyesalan.
Citraan ini terdapat pula pada puisi Ketika masih bocah pada bait kedua
menggambarkan suasana hati penyair pada saat itu.
Sebab
itu aku selalu riang
Bermendung
atau berawan, udara tetap terang
Setiap
butir pasir buku pelajaran bagiku
Kusaksikan
semesta di dalam
Dan
keluasan mendekapku seperti seorang ibu (Hadi, 2001:60)
Hal ini menggambarkan pada
saat kecil, sang penyair merasa tetap senang meskipun sedang berkabung.
Dijelaskan pula citraan rasa pada puisi berjudul Elegi pada bait kelima, Selain
laut pada bait keenam menggambarkan kesedihan.
7. Citraan intelektual
Citraan intelektual adalah citraan yang
dihasilkan oleh/ dengan asosiasi-asosiasi intelektual. Dalam kumpulan puisi
karya Abdul Hadi W.W sebagian besar puisinya mengandung citra intelektual.
Sebagai contoh pada puisi Matahari dan Ka’bah (Lukisan Affandi)
Tujuh matahari bangkit dan mengoyak
cakrawala
Tujuh puluh matahari, tujuh ratus nyala
berkobar
Gurun dan wadi-wadinya bersimpuh
Kembang, pepohonan, unta, kemahpara
kafilah
Api dan tenaga api
Sahabat, kita akan pergi kesana
Kita akan lebih hidup dari semula
Selakali langkah saja merangkum ribuan
tata surya
Sekali sapuas puas
Dengan mata kalbu seorang sufi
Alamat yang tak dikenal akan datang
sendiri
Dan membawa kita ke rumah-Nya
Atau kita culupkan disini saja
Derita dan kefanaan kita
Affandi, pemuja matahari
Yang mataharinya di Ka’bah
Yang mataharinya terbit dan terbenam
dalam kalbu
Yang mataharinya lahir dan besar dalam jiwa
Beranak cucu matahari
(Hadi, 2002:36)
DAFTAR
PUSTAKA
Najid, M. 2009. Mengenal
Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, B. 1994. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmad Djoko. 1990. Beberapa Gagasan dalam Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:
kanisius
http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=5
8:pbin-4104-teori-sastra&Itemid=75&catid=30:fkip diakses 12 Maret 2012-03-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar