By:
Hikhmah
Oky Pravitasari
KKT A
UNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN
2012
PENGANTAR
Pada dasarnya karya sastra terdiri dari
tiga macam, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama. Prosa fiksi disebut juga cerita rekaan. Ada
beberapa hal yang perlu dipaparkan berkait dengan pembedaan jenis prosa fiksi,
yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu cerita pendek (cerpen) dan
novel. Menurut Najid (2009:21) cerpen ialah prosa fiksi yang relatif pendek.
Berbeda dengan novel yang relatif lebih panjang, meskipun demikian sangat
mungkin sebuah cerpen bila dilanjutkan akan menjadi sebuah novel. Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata
dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan
pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan
pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup
dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan,
percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan
sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka
sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia
dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si
pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering
pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang
dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia,
kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Kali
ini saya akan membeda kajian kritik sastra pada cerpen Langit Makin Mendung
dengan pendekatan objektif.
Cerpen "Langit Makin Mendung" dimuat di
Majalah Sastra, Th. VI.No. 8, Edisi Agustus 1968.Cerpen
ini menunai kontroversi yang luar biasa.Umat Islam pada waktu itu yang berada dalam kondisi yang sensitif memprotes atas
dimuatnya cerpen yang, menurut mereka, bisa merusak
akidah mereka.Akhirnya majalah Sastra dibredel. Pimrednya HB. Jassindijebloskan ke dalam penjara gara-gara tidak mau
mengungkapkan identitas Ki Panji Kusmin pengarang
cerpen ini.Sammpai saat ini identitas pengarang cerpen ini belum terkuak.Dalam
buku Pleidoi Sastra:
Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Dahlan,
2004), disebutkan ada dua kemungkinan mengenai hal itu. Pertama, Kipandjikusmin
adalah H.B. Jassin sendiri. Kedua, Kipandjikusmin adalah seorang penulis pemula
yang tinggal di Yogyakarta dan tengah kuliah di sebuah universitas Islam. Dan,
menurut catatan editor buku Pleidoi
Sastra, kemungkinan yang kedualah yang mendekati kebenaran.
Kalau
kita baca cerpen itu secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal, maka pesan kuat
yang hendak disampaikan Kipandjikusmin adalah kritiknya terhadap Presiden
Soekarno, Soebandrio, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Dalam
pembacaan saya, Kipandjikusmin tidak menjelekkan agama Islam. Yang
dijelekkannya adalah Rezim Soekarno, yang saat itu telah dilengserkan dan
ditahan RezimSoeharto(Sambodja,2006).
Namun, bumbu-bumbu yang digunakan oleh Kipandjikusmin itulah yang dipersoalkan. Cerpen itu tetap dianggap sebagai menghina agama Islam. H.B. Jassin terpojok, namun sastrawan-sastrawan Manikebu membelanya, tapi tidak membela Kipandjikusmin. Taufiq Ismail, misalnya, mengatakan cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan ataupun agama Islam. “Kipandjikusmin melakukan kekeliruan besar dalam akidah mungkin karena ketidaktahuannya saja. Cerpen ‘Langit Makin Mendung’ itu sendiri tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk,” kata Taufiq Ismail (lihatPradopo,2002).
Meski cerpen ini dipandang banyak menuai kontroversi, ada dokumentasi sosial yang digambarkah oleh cerpen ini tentang keadan masyrakat, caut-marut politik, ideologi pada era 1960-an. Karena itu, penulis tertarik untuk menganalisisnya dengan pendekatan objektif. Penulis memfokuskan kajian Langit Makin mendung pada karya sastra itu sendiri.
Namun, bumbu-bumbu yang digunakan oleh Kipandjikusmin itulah yang dipersoalkan. Cerpen itu tetap dianggap sebagai menghina agama Islam. H.B. Jassin terpojok, namun sastrawan-sastrawan Manikebu membelanya, tapi tidak membela Kipandjikusmin. Taufiq Ismail, misalnya, mengatakan cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan ataupun agama Islam. “Kipandjikusmin melakukan kekeliruan besar dalam akidah mungkin karena ketidaktahuannya saja. Cerpen ‘Langit Makin Mendung’ itu sendiri tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk,” kata Taufiq Ismail (lihatPradopo,2002).
Meski cerpen ini dipandang banyak menuai kontroversi, ada dokumentasi sosial yang digambarkah oleh cerpen ini tentang keadan masyrakat, caut-marut politik, ideologi pada era 1960-an. Karena itu, penulis tertarik untuk menganalisisnya dengan pendekatan objektif. Penulis memfokuskan kajian Langit Makin mendung pada karya sastra itu sendiri.
Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik merupakan
pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan
tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang
lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk
memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai,
ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra
tersebut. Contohnya dalam cerpen langit makin mendung karya Kipandjukusmin
dimana terjadi pergolakan dan pertentangan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai
sosial di masyarakat. Banyak kontroversi yang terjadi dalam cerpen makin
mendung ini. Diantaranya terdapat perbedaan pendapat dariberbagai tokoh, diantaranya
adalah sebagai berikut, penulis mangambil sumber dari internet.
http://asepsambodja.blogspot.com/2009/10/kenapa-hb-jassin-membela-kipandjikusmin.html
disandur dari blogspot diakses 17 April 2012.
Ali
Audah (dalam Damono, 1987) menilai cerpen “Langit Makin Mendung” tidak menghina
agama, karena agama terlalu agung dan luhur untuk dapat dihinakan oleh cerpen
semacam itu. “Saya berpendapat nilai sastranya rendah.”
Buya Hamka yang menjadi saksi ahli dalam persidangan H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap Jassin, tapi tidak untuk Kipandjikusmin. Bahkan, dalam persidangan itu Hamka meminta agar H.B. Jassin dibebaskan. Hamka menilai Kipandjikusmin sebagai seorang pengecut, karena berlindung di balik nama samaran dan tidak memperlihatkan jati dirinya. Dari segi isi cerita, kalau Kipandjikusmin mengkritik konsep Nasakomnya Soekarno saat Nasakom sudah habis, menurut Hamka, sama saja dengan orang yang menantang berkelahi bangkai yang telah mati. Sikap kesatria itu adalah yang diperlihatkan H.B. Jassin dan kawan-kawan ketika mereka mengeluarkan Pernyataan Manifes Kebudayaan di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih di puncak dan Nasakom masih berkuasa (Dahlan, 2004).
Ketika hakim menanyakan kepada Hamka sebagai Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, apakah cerpen itu akan memuat cerpen “Langit Makin Mendung” jika dikirimkan ke majalahnya, Hamka menjawab, “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” (Dahlan, 2004).
Kalau membaca komentar sastrawan-sastrawan Manikebu—dan Islam—di atas, tampak jelas bahwa mereka menilai karya Kipandjikusmin itu rendah mutu sastranya. Kalau karya itu dinilai rendah, kenapa dimuat di majalah Sastra? Kenapa H.B. Jassin memuat karya itu di majalah sastra yang bergengsi itu? Dalam persidangan, Jassin tetap bersikukuh bahwa dilihat dari segi kritik sastra, cerpen itu bermututinggi(Damono,1987).
Kriteria apakah yang membuat suatu karya sastra bermutu tinggi dan bermutu rendah? Bagi pengamat sastra yang berprinsip karya sastra sebagai karya yang otonom, maka ukurannya adalah kepiawaian pengarang dalam mengolah unsur-unsur karya sastra itu. Bagi pengamat sastra yang berpendirian bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, maka yang menjadi ukuran adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.
Tapi, kalau dilihat dari segi yang lain. Kontroversi semacam ini akan menjadi catatan sejarah yang penting. Katakanlah cerpen “Langit Makin Mendung” bermutu rendah. Namun, sampai sekarang karya itu masih terus dibicarakan, sementara karya sastra “yang bermutu tinggi” yang terbit bersamanya luput dibicarakan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah karya itu bertarung sendiri dengan waktu.
Pembelaan H.B. Jassin terhadap Kipandjikusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. Bisa dibayangkan kalau hanya gara-gara diprotes masyarakat mayoritas dan kalangan sastrawan diam dan takluk begitu saja, maka tamatlah riwayat sastra. Dari sini terlihat bahwa lembaga sensor bukan hanya dari penguasa (negara) saja, melainkan dari masyarakat juga. Dan sastrawan memang sejatinya tidak menyerah begitu saja. Menulis karya sastra terkadang harus pula siap menghadapi segala risiko.
Dalam kasus ini saya melihat kebesaran seorang H.B. Jassin yang berani menghadapi segala risiko. Ia tidak hanya membela seorang penulis baru seperti Kipandjikusmin, tapi juga membela penulis besar seperti Chairil Anwar dan Hamka yang dituduh sebagai plagiator. Tidak salah kalau A. Teeuw menjuluki H.B. Jassin sebagai Wali Penjaga Sastra Indonesia.
Buya Hamka yang menjadi saksi ahli dalam persidangan H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap Jassin, tapi tidak untuk Kipandjikusmin. Bahkan, dalam persidangan itu Hamka meminta agar H.B. Jassin dibebaskan. Hamka menilai Kipandjikusmin sebagai seorang pengecut, karena berlindung di balik nama samaran dan tidak memperlihatkan jati dirinya. Dari segi isi cerita, kalau Kipandjikusmin mengkritik konsep Nasakomnya Soekarno saat Nasakom sudah habis, menurut Hamka, sama saja dengan orang yang menantang berkelahi bangkai yang telah mati. Sikap kesatria itu adalah yang diperlihatkan H.B. Jassin dan kawan-kawan ketika mereka mengeluarkan Pernyataan Manifes Kebudayaan di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih di puncak dan Nasakom masih berkuasa (Dahlan, 2004).
Ketika hakim menanyakan kepada Hamka sebagai Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, apakah cerpen itu akan memuat cerpen “Langit Makin Mendung” jika dikirimkan ke majalahnya, Hamka menjawab, “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” (Dahlan, 2004).
Kalau membaca komentar sastrawan-sastrawan Manikebu—dan Islam—di atas, tampak jelas bahwa mereka menilai karya Kipandjikusmin itu rendah mutu sastranya. Kalau karya itu dinilai rendah, kenapa dimuat di majalah Sastra? Kenapa H.B. Jassin memuat karya itu di majalah sastra yang bergengsi itu? Dalam persidangan, Jassin tetap bersikukuh bahwa dilihat dari segi kritik sastra, cerpen itu bermututinggi(Damono,1987).
Kriteria apakah yang membuat suatu karya sastra bermutu tinggi dan bermutu rendah? Bagi pengamat sastra yang berprinsip karya sastra sebagai karya yang otonom, maka ukurannya adalah kepiawaian pengarang dalam mengolah unsur-unsur karya sastra itu. Bagi pengamat sastra yang berpendirian bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, maka yang menjadi ukuran adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.
Tapi, kalau dilihat dari segi yang lain. Kontroversi semacam ini akan menjadi catatan sejarah yang penting. Katakanlah cerpen “Langit Makin Mendung” bermutu rendah. Namun, sampai sekarang karya itu masih terus dibicarakan, sementara karya sastra “yang bermutu tinggi” yang terbit bersamanya luput dibicarakan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah karya itu bertarung sendiri dengan waktu.
Pembelaan H.B. Jassin terhadap Kipandjikusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. Bisa dibayangkan kalau hanya gara-gara diprotes masyarakat mayoritas dan kalangan sastrawan diam dan takluk begitu saja, maka tamatlah riwayat sastra. Dari sini terlihat bahwa lembaga sensor bukan hanya dari penguasa (negara) saja, melainkan dari masyarakat juga. Dan sastrawan memang sejatinya tidak menyerah begitu saja. Menulis karya sastra terkadang harus pula siap menghadapi segala risiko.
Dalam kasus ini saya melihat kebesaran seorang H.B. Jassin yang berani menghadapi segala risiko. Ia tidak hanya membela seorang penulis baru seperti Kipandjikusmin, tapi juga membela penulis besar seperti Chairil Anwar dan Hamka yang dituduh sebagai plagiator. Tidak salah kalau A. Teeuw menjuluki H.B. Jassin sebagai Wali Penjaga Sastra Indonesia.
Dari
pendapat diatas dapat dikaji dengan pendekatan pragmatik yaitu pendekatan yang
memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan
tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau
tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan
fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Dalam cerpen
langit makin mendung digunakan kipandjikusmin sebagi sarana kritikan pada
pemerintahan pada saat itu. Dia sengaja tidak memberi tahu siapa jati dirinya.
Karena cerpen ini sangatlah fenomena pada masa itu yang notabene pada masa itu
adalah masa orde lama. Karya sastra seperti ini pasti memiliki nilai estetika
yang sangat tinggi karena membuat berbagai persepsi dari berbagai orang.
Penokohan- penokohan yang diapakai tidak menggunakan nama-nama orang biasa.
Tetapi Kipandjikusmin dengan sangat berani dan dengan bahasa yang lugas
menggunakan nama-nama nabi beserta gelar, bahkan nama tuhan juga disejajarkan
dengan nama-nama nabi. Masalah-masalah
yang muncul disini juga sangat sarat dengan dunia politik, agama, ekonomi dan
budaya. Meskipun cerpen ini banyak yang memprotes, tetapi nilai-nilai positif
juga banyak diselipkan oleh pengarang. Karya sastra ini ingin membandingkan
sikap penguasa yang benar dan salah, sikap rakyat yang baik dan benar maupun
keterlaksanaan agama yang benar itu bagaimana. Kesimpulannya meskipu cerpen ini
banyak menuai kritik, tetapi banyak nilai-nilai positif yang disisipkan dalam
cerpen ini. Tidak selamanya kritik itu merusak, bahkan banyak kritik yang
membangun dan menikkatkan dunia sastra.
Kritik Sastra Objektif
Teori kritik sastra objektif merupakan teori yang harus dilihat sebagai
objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang
otonom dengan koherensi intern. Kritik sastra yang memandang karya sastra
sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa
pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya. Karya sastra cerpen yang berjudul Langit Makin
Mendung karya Kipandjikusmin ini sangatlah fenomenal, karena cerpen ini sarat
akan nilai-nilai kritik sosial, budaya, agama maupun politik. Cerpen Langit
mendung seakan mengerebak dunia orde lama, yang pada masa itu masih
pemerintahan berpusat pada penguasa.. Adanya jurang pemisah antara penguasa dan
rakyat sangatlah signifikan. Moral agama yang notabene mayoritas penduduk Indonesia
saat itu beragama islam, tetapi dialog yang digunakan antara tokoh nabi
Muhammad, nabi adam, dan tuhan menunjukkan moral bangsa yang semakin rendah,
selain itu moral rakyat semakin bejat ditunjukkan denagn dialog antara rakyat
jelata dengan perempuan kelas rendah yang berhubungan intim dimanapun dan
kapanpun. Cerpen tersebut menunjukkan sinkronisasi antara dialog di cerpen
dengan pemerintahan saat itu yaitu di negara Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi.
Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Pres
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
(http://adiel87.blogspot.com/2009/11/teori-objektif.html)
diakses 17 April 2012.
http://asepsambodja.blogspot.com/2009/10/kenapa-hb-jassin-membela-kipandjikusmin.html
disandur dari blogspot diakses 17 April
2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar