By:
Hikmah Oky Pravitasari
UNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN
2012
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karya
sastra, sebagai salah satu bentuk karya seni, merupakan cermin dari masyarakat
tempat karya sastra tersebut dilahirkan. Dalam ungkapan Abrams (1976: 31) “art
is like a mirror”, menunjukkan pernyataan itu. Karya sastra merupakan imitasi
dari universe atau semesta, yang dalam pengertian kritik sastra Marxis sering
disebut dengan istilah refleksi masyarakat (Abrams, 1981: 178-179).
Wellek dan Austin dalam Nurgiantoro
(1995:3) menyebutkan bahwa sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya
seni dan objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa
sebagai media penyampaiannya. Oleh karena itu karya sastra adalah salah satu
karya seni karena karya sastra dengan leluasa mengungkapkan dan mengekspresikan
nilai-nilai yang bermanfaat bagi manusia demi penyempurnaan kehidupan manusia.
Karya sastra memilki beberapa klasifikasi, jenis atau genre, yang meliputi
prosa, puisi dan drama. Prosa terdiri atas novel, cerpen, roman dan sebagainya.
Nurgiantoro (1998:11) mengungkapkan bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu
secara bebas, menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih rinci, lebih detail dan
melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks. Sejalan dengan hal tersebut
Henry Guntur (1993:164) menjelaskan bahwa novel merupakan suatu cerita prosa
yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta
adegan kehidupan yang nyata dalam suatu alur atau keadaan.
Karya
sastra sebenarnya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pengarangnya, sebab
di antara keduanya terdapat “hubungan kausalitas” (Aminuddin, 1990:93), yakni
sebagai hasil kreativitas pengarangnya, karya sastra tidak akan mungkin lahir
tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Sebagai manusia yang hidup dan
berinteraksi dengan sesamanya, sang pengarang dengan bermodalkan kepekaan jiwa
yang dalam senantiasa mencecap melalui pengamatan dan penghayatan terhadap
masalah kemanusian dan kehidupan ini. Kemampuan menangkap gejala-gejala
kejiwaan dari orang lain, oleh pengarang kemudian diolah dan diendapkan serta
diekspresikan dalam proses kreatif cipta sastra sehingga lahirlah karya sastra
sebagai buah kontemplatif sang pengarang. Dengan demikian, pengalaman kejiwaan
yang semula mengendap dalam jiwa pengarang telah beralih menjadi suatu master
piece cipta sastra yang terproyeksikan lewat ciri-ciri kejiwaan para tokoh
imajinernya. Tokoh dalam “dunia baru”, dunia rekaan sang pengarang.
Sastra sebagai
“gejala-kejiwaan” yang di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang
menampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, dengan demikian karya sastra (teks
sastra) dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi Roekhan (dalam
Aminuddin, 1990:93). Sesuai perkembangannya, pendekatan tekstual dalam
psikologi sastra dewasa ini tidak hanya bertumpu pada pendekatan psikologi
dalam. Tetapi juga memungkinkan dilakukan dengan pendekatan psikologi yang lain
seperti pendekatan behavioral yang berpijak pada anggapan bahwa kepribadian
manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada, termasuk
rentetan peristiwa yang membentuknya. Pendekatan psikologi behavioral ini
mengabaikan anggapan psikologi kognitif yang beranggapan bahwa faktor pembawaan
sejak lahirlah yang membentuk kepribadian manusia.
Kompleksitas unsur-unsur yang terdapat dalam karya
sastra, hal ini menuntut kepada kita berkaitan kajian sastra agar memiliki
suatu kepekaan emosi atau perasaan dalam menikmati unsur-unsur keindahan cipta sastra;
wawasan pengetahuan dan pengalaman yang luas terhadap masalah kehidupan dan
kemanusiaan baik lewat penghayatan secara intensif-kontemplatif maupun dengan
membaca berbagai literatur humanitas; pemahaman terhadap aspek kebahasaan;
serta pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan
dengan telaah teori sastra.
Jika Horace (Depdiknas, 2005ca:79)
menganggap sastra adalah dulce et utile, menyenangkan dan berguna karena dari
pernyataannya tersirat makna bahwa sastra bisa berfungsi sebagai sarana
“rekreatif” dan untuk pengajaran moral kepada manusia; apalagi juga ditegaskan
oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. bahwa dengan terlibatnya manusia ke dalam
karya sastra dapat menolong seseorang menjadi mansia yang berbudaya (cultured
man), yakni manusia yang responsif terhadap hal-hal yang luhur dalam hidup ini
serta senantiasa mencari nilai-nilai kebenaran; maka berangkat dari upaya
menangkap salah satu unsur dalam kandungan karya sastra yaitu lewat telaah
tokoh dan penokohan tekstual sastra dengan pendekatan psikologi behavioral
inilah dilakukan penelitian yang diberi judul Analisis Aspek Psikologi
Tokoh Susan dalam Novel “SIKLUS” Karya Mohammad Diponegoro.
Tidak
semua unsur yang terkandung dalam suatu karya sastra, bisa secara tuntas
diapresiasi dalam waktu yang relatif terbatas. Oleh sebab itu, bertolak dari
pendapat Aminuddin (2004:45) yang menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan apresiasi
sastra melalui kegiatan analisis, tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang
terkandung dalam suatu cipta sastra, melainkan bisa membatasi diri pada
analisis struktur, diksi, gaya bahasa, atau mungkin analisis unsur kebahasaan
seperti dilaksanakan dalam pendekatan linguistik atau text grammar; maka
peneliti membatasi pada masalah Analisis Aspek Psikologis tokoh Susan pada
Novel ”SIKLUS” karya Mohamad Diponegoro.
B.
Rumusan masalah
Rumusan Masalah pasti selalu ada dalam setiap
penelitian atau kegiatan. Hal ini bertujuan agar pembicaraan yang dilakukan
dapat mencapai sasaran. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
- bagaimanakah kondisi aspek psikologis tokoh Susan dan Amir pada novel siklus?
C.
Tujuan Makalah
- Mendeskripsikan Bagaimana aspek psikologis tokoh Susan dan Amir pada novel siklus?
D.
Manfaat
Hasil makalah diharapkan dapat bermanfaat bagi
semua orang yang membacanya.
1. Manfaat
Teorotis
Makalah ini diharapkan memberi sumbangan
bagi peminat karya sastra
2. Manfaat
Praktis
Secara praktis makalah ini memberikan
manfaat sebagai berikut:
a. Meningkatkan
minat baca peminat sastra
b. Meningkatkan
daya kepekaan terhadap karya sastra
c. Mendapatkan
tambahan informasi
BAB II
KAJIAN TEORI
Pada
prinsipnya penelitian tentang Analisis Aspek Psikologis Tokoh Susan dalam novel
“Siklus” karya Mohammad Diponegoro ini memanfaatkan kajian interdisipliner,
artinya penelitian ini dalam upaya menginterpretasi karya sastra memerlukan
ilmu terapan dengan mengkaji kepustakaan yang relevan. Beberapa kajian sebagai
tinjuan pustaka yang relevan, meliputi (1) tinjauan pengertian prosa fiksi (2)
tinjauan terhadap psikologi sastra (3) tinjauan terhadap psikologi sastra, (3)
tinjauan terhadap penokohan dalam novel.
A.
Pengertian Prosa Fiksi
Prosa
fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu
dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang
bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.
Karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi
penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen
fiksional sehingga menjadi suatu wacana. Pengarang dalam memaparkan isi karya
fiksi bisa lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, dan
(3) lakuan atau action (Aminuddin, 2004:66). Disebutkan juga bahwa
bentuk-bentuk karya fiksi meliputi roman, novel, novelet, maupun cerpen.
Semua
karya sastra termasuk novel, mempunyai dua unsur yang membangun, yaitu unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, tokoh dan
penokohan, setting/latar, gaya, sudut pandang, suasana, dan amanat. Adapun
unsur yang membangun di luar karya sastra yaitu unsur ekstrinsik meliputi :
biografi pengarang, pembaca, latar proses kreatif penciptaan maupun latar
sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra (Aminuddin, 2004:34).
B.
Pengertian Novel
Novel adalah sebuah cerita prosa fiksi karya pengarang
yang tercipta dengan dilandasi berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian
tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam imajinasinya; dan dihadirkan
dalam bentuk paparan cerita yang panjang mengenai kehidupan manusia. Pengertian
novel bila ditinjau secara harafiah, istilah novel berasal dari bahasa Italia
novella yang berarti “barang baru yang kecil”. Novel adalah karya sastra fiksi
yang panjangnya sekitar 200 halaman (Depdiknas, 2005:107; abdul Rani, 2004:85).
Abdul Rani (2004:85) mengartikan novel sebagai karya imajinatif yang
mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa
tokoh.
Mengutip
pendapat Mochtar Lubis, Henry Guntur Tarigan dalam bukunya Prinsip-Prinsip
Dasar Sastra (1985:165-166) menyebutkan bahwa pemilahan jenis novel/roman
berdasarkan bentuk dan genrenya dibedakan menjadi novel : (1) avontur, (2)
psikologis, (3) detektif, (4) sosial, (5) politik, dan (6) kolektif.
Berdasarkan
segmen konsumen pembacanya, terdapat jenis novel remaja yang menurut
Nurgiantoro (dalam Depdiknas, 2005:108) adalah novel populer yakni novel yang
massa pembacanya sangat banyak khususnya di kalangan remaja. Novel remaja
(populer) menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman walaupun
hanya sesaat/temporer atau sementara/artifisial serta tidak menggambarkan
kehidupan secara intens tentang pemahaman hakikat kehidupan.
Sebagai salah satu genre sastra, novel serta karya
fiksi lainnya seperti cerpen, novelet, dan roman mengandung unsur-unsur
meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai
isi yang berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur
intrinsik yang membangun karya fiksi sehingga menjadi suatu wacana (Aminuddin,
2004:66). Unsur-unsur prosa fiksi meliputi tokoh dan penokohan, latar/setting,
alur atau plot, sudut penceritaan/sudut pandang, gaya, tema, dan amanat.
C.
Psikologi Karya Sastra
Psikologi sastra adalah suatu kajian yang bersifat tekstual terhadap
aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana wawasan yang telah
lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra juga memandang
bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media
bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya sastra merupakan hasil
ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan
suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi
Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:88-91).
Psikologi
sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori sastra. Sastra
sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan
yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya teks sastra dapat
dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi. Antara sastra dengan
psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional,
demikian menurut Darmanto Yatman (Aminuddin, 1990:93). Pengarang dan piskolog
kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Keduanya
mampu menangkap kejiwaan manusia secara mendalam. Perbedaannya, jika pengarang
mengungkapkan temuannya dalam bentuk karya sestra, sedangkan psikolog sesuai
keahliannya mengemukakan dalam bentuk formula teori-teori psikologi.
Karya sastra yang merupakan dunia baru hasil ciptaan pengarang. Secara
sadar atau tidak sadar pengarang sebagai seorang manusia telah memasukkan
aspek-aspek kehidupan manusia di dalam karyanya (sastra). Disinilah yang menjadi
letak kajian psikologi, yaitu aspek-aspek manusia yang diciptakan dalam karya
sastra (tokoh-tokoh dalam karya sastra) yang memiliki aspek-aspek
kejiwaan. Dalam memahami psikologi sastra, kita dapat menggunakan beberapa
cara, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaaan pengarang sebagai penulis; b)
memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra; c) memahami
unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Hal sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Freud, bahwa Psikologi adalah
semua gejala yang bersifat mental bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam
kesadarnan. Lebih lanjut Freud
membagi teori kepribadian menjadi tiga, yaitu Id (Es), Ego (Ich), dan Super Ego
(Uber ich). Id merupakan dorongan biologis dan berada dalam ketidaksadaran. Id
beroperasi menurut prinsip kenikmatan (Pleasure
principle) dan mencari kepuasan segera. Ego adalah pikiran yang beroperasi
menurut prinsip kenyataan (reality principle) yang memuaskan dorongan id
menurut cara-cara yang dapat diterima masyarakat. Adapun superego yang
terbentuk melalui proses identifikasi dalam pertengahan masa kanak-kanak,
merupakan bagian dari nilai-nilai moral dan beroperasi menurut prinsip moral
dari kepribadian manusia, karena ia merupakan nilai baik-buruk, salah-benar,
boleh tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan Ego yaitu Id. Id adalah sistem
kepribadian yang asli, dibawah sejak lahir. Dari id ini kemudian muncul ego dan
superego (Freud, 2004: 19)
D. Tokoh dalam Karya Sastra
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelakunya,
pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehinggga terjalin suatu
cerita disebut dengan tokoh (Aminuddin, 2004:79). Kusdiratin (dalam Depdiknas,
2005:57) mengatakan bahwa tokoh dalam karya fiksi selalu mempunyai sifat,
sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemerian watak pada tokoh suatu
karya sastra oleh pengarang disebut perwatakan. Tokoh merupakan bagian dari
keutuhan artistik karya sastra yang selalu menunjang keutuhan artistik itu.
Tokoh dalam karya sastra dapat digolongkan menjadi lima, yaitu (1) tokoh utama
dan tokoh pembantu, (2) tokoh bulat dan tokoh datar, (3) tokoh protagonis dan
tokoh antagonis, (4) tokoh sentral dan tokoh bawahan, dan (5) tokoh dinamis dan
tokoh statis (Aminuddin,2004:80).
Penokohan dalam karya sastra adalah
cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku dalam karya fiksinya. Boulton
dalam (Aminuddin, 2004:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan
atau memunculkan tokoh dalam karya fiksi dapat bermacam-macam, seperti tokoh
pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang gigih dalam perjuangan
hidupnya, pelaku yang selalu bersikap realistis, pelaku yang egois. Para pelaku
bisa berupa manusia atau tokohmakhluk lain yang diberi sifat seperti manusia,
misalnya perilaku binatang.
BAB III
PEMBAHASAN
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa psikologi sastra juga
memandang sastra sebagai hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media
bahasa, diabdikan untuk kepentingan estetis, di dalamnya ternuansakan suasana
kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi. Fenomena
kejiwaan sebagai proyeksi pemikiran pengarang nampak lewat perilaku tokoh-tokoh
ceritanya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari
tiga elemen. Ketiga unsur kepribadian itu dikenal sebagai id, ego dan superego yang bekerja sama untuk
menciptakan perilaku manusia yang kompleks.
1. Id
Id adalah satu-satunya komponen
kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan
termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber
segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip
kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan,
keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya
adalah kecemasan negara atau ketegangan.
Sebagai contoh,
peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan
atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa
kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis
sampai tuntutan id terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan ini
tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya
oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang
kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri.
Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima.
Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh
prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra
mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
2. Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang
bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego
berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam
cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar,
prasadar, dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang
berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan
sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu
tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls.
Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda
kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam
waktu yang tepat dan tempat.
Ego juga pelepasan ketegangan yang
diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana
ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran
mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.
3. Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan
kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung
semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua
orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan
pedoman untuk membuat penilaian.
Ada dua bagian
superego, Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik.
Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan
lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan
prestasi. Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk
oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan
buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego
bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk
menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk
membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip
realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.
Interaksi
dari Id, Ego dan superego
Dengan kekuatan bersaing begitu banyak,
mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan
superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan
ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego
yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan
kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras
hati atau terlalu mengganggu.
A.Deskripsi Temuan Kondisi
aspek Psikologis tokoh Susan dalam Novel “Siklus” karya Mohammad Diponegoro
Dalam novel ini dijelaskan bahwa tokoh Susan adalah seorang istri John
Fletcher yaitu seorang antropolog kebangsaan Amerika. Pada awal-awal
pernikahan mereka terlihat baik-baik saja. Tetapi John fletcher sangat gila
jika sudah berhadapan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Susan istrinya merasa kurang perhatian dan kurang akan kebutuhan batiniahnya
akibat sepeninggal John meneliti peninggalan-peninggalan antropolog, karena
Susan tidak menyukai hal-hal yang berbau antropolog. Sehingga Susan melampiaskan
kebutuhan seksualnya dengan banyak pria dari bangsa eropa, china bahkan sahabat
suaminya sendiri yang berkebangsaan Indonesia bernama Amir. Dia menjalin
hubungan dengan Amir tanpa sepengetahuan suaminya.
Index Penokohan pada Tokoh Susan
1) cantik,
wangi, dan lenjeh.
2) istri
John Fletcher, gundik Amir, dan pernah pula menjadi gundik Ching.
3) usia
sekitar 30 tahun.
4) orang
Amerika.
5) suka
bertualang seks.
6) tersiksa
akibat terabaikan suami.
7) percaya
pada tahyul.
8) suka
menyesal.
9) tidak
memperoleh kepuasan seksual dari suaminya.
10) menyadari
dirinya sebagai wanita lacur.
11) tidur bersama sejumlah lelaki: di
Amerika, di Eropa, di Afrika, di Indonesia, di Cina.
Dijelaskan bahwa pengaruh Id dan Ego pada diri
Susan terlihat pada hubungannya dengan Amir. Susan tahu bahwa Amir adalah
sahabat suaminya. Dusamping hal tersebut, terdapat sejumlah peristiwa yang
isinya sama, yakni peristiwa 018.9 = 050.1 = 050.2 = 065.6 = 088.1-5
=142.3-4. Semua peristiwa tersebut sama isinya, yakni menceritakan
hubungan seksual antara Amir dan Susan tatkala John Fletcher sedang tidak di
rumah. Peristiwa-peristiwa itu isinya sama pula dengan dua buah peristiwa
“pokok”, yakni peristiwa 111 dan 112 tentang persetubuhan antara
Amir dan Susan. Kalaupun akan dicari perbedaannya, terutama terkait dengan
teknik penceritaan dan latar (informasi tempat). Peristiwa-peristiwa sorot
balik yang sama isinya diceritakan dengan teknik “kenangan tokoh” dan latarnya
Jakarta, sedangkan peristiwa “pokok” dan latarnya adalah rumah Lily (kawan
Susan) di Taipeh. Hal ini menandakan bahwa Susan lebih mementingkan kebutuhan
seksual pribadi tanpa mempedulikan suaminya. Karena dia merasa kurang perhatian
dari suaminya. Dan dia menyadari bahwa dirinya adalah wanita lacur, sehingga
dirinya merasa pantas jika menjalin hubungan dengan banyak lelaki dari
Eropa, Afrika, Amerika, china bahkan Indonesia.
Sebagai
seorang antropolog, peneliti, dan kolektor, John Fletcher sering tenggelam
dalam pekerjaannya, sehingga Susan istrinya sering terabaikan. Hal ini membuat
keluarga/rumah tangga mereka terancam perceraian, terjadi keretakan hubungan
suami-istri (110.2). Id dan Ego saling mempengaruhi tingkat psikologis Susan
dalam hal ini.
Hubungan Amir dengan Susan Fletcher dan John Fletcher terputus ketika
keluarga itu meninggalkan Indonesia (018.1-10 – 050.1 – 058.1-2 – 065.6 – 069.2
– 088.1-5 – 142.2-4). Di sela-sela kesibukan John Fletcher dengan penelitiannya
terhadap siklus kalung, hal ini membuat
susan mengutamakan egonya untuk berselingkuh dengan orang lain. Susan kembali
terlibat skandal seks dengan Amir karena hubungannya dengan Ching sudah
renggang (075 – 077 – 082 – 095 – 096 – 109 – 110.1 – 110.4-6 – 111 – 112).
Kritik
sastra
Informasi tempat novel ini menunjukkan – secara
garis besar dan dilihat dari seginya
yang foregrounded ‘terkedepankan’ – kesamaan dalam hal-hal tertentu.
Penunjukan tempat seperti Jakarta, Taipeh, bar &
restaurant, hotel, dan sebagainya merupakan suatu indikasi hidup dan
kehidupan modern. Akan tetapi, di balik itu, tokoh-tokoh yang terlibat
menunjukkan hal yang paradoksal. Amir adalah tokoh yang “merasa” modern dengan
sikap anarkhinya terhadap cinta, wanita, dan seks, sementara sifat-sifat itu
merupakan “gincu” akibat kegagalannya dalam berumah tangga. Demikian pula
halnya dengan Susan. Sementara John Fletcher sebagai seorang ilmuan sejati, bangsa
barat (Amerika), malah masih mempercayai hal-hal yang bersifat tahyul dan
mistik. Pada konteks ini, sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Leong Kum Choon dan
Darsono yang memegang teguh pada agama dan juga ilmu pengetahuan, dan sekaligus
norma-norma kehidupan yang diyakini, merupakan sikap yang menjadi mediasi
antara sifat dan sikap yang paradoksal yang tampak dalam sosok Amir dan Susan
di satu pihak, dan john Fletcher di pihak yang lain. Dengan demikian, Taipeh
sebagai latar tempat novel ini dapat dianggap sebagai simpang jalanantara
Timur dan barat, antara yang tradisional dan yang modern. Dengan demikian, dari
sisi ini pula Siklus menunjukkan adanya koherensi.
Demikian pula halnya dengan
tokoh utama yang lain, John Fletcher dan Susan Fletcher. Peristiwa-peristiwa
yang dijalaninya menunjuk pada perputaran, pada siklus tertentu. Akan tetapi,
di atas itu semua masih ada saja terdapat hal-hal yang berada di luar
perhitungan. John Fletcher sama sekali tak menduga bahwa istrinya, Susan, akan
memiliki niat untuk mengurungkan perceraian dan kembali baik-baik padanya.
Demikian pula dengan Amir. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada akhirnya
Susan pun akan mengecewakannya. Bahkan, John Fletcher pun tidak memperhitungkan
bahwa kematiannya akan datang begitu cepat dan tiba-tiba; Amir juga tidak
memperhitungkan bahwa dirinya pada akhirnya disakiti dan disiksa oleh lelaki
yang ternyata suami seorang gadis yang pernah diganggunya.
Tokoh Susan disini mengalami perubahan besar yaitu
ingin kembali ke suaminy lagi dn mengurungkan niatnya berecrai dengan suaminya
john Fletcher, setelah petualangan seksnya dengan pria-pria dari mancanegara.
Tetapi disaat Susan ingin kembali ke suaminya, John sedang meneliti kalung yang
dibeli dari Amir dan akhirnya John meninggal. Kemudian Amir meninggalkan Susan
ke Jakarta. Novel ini sarat akan nilai-nilai tokoh yang berkebalikan. Yaitu
tokoh Susan sama dengan tokoh Amir yang suka berpetualang cinta, sedangkan
suaminya cenderung lebih bijak.
Tokoh Susan cenderung mementingkan egonya, Susan tidak pernah mengerti
dengan pekerjaan suaminya, selain itu Susan Fletcher tidak berminat sama sekali
dengan pekerjaan suaminya sebagai antropolog. Sehingga perhatian suaminya John
Fltecher berkurang terhadap Susan, Susan akhirnya frustasi dengan kegilaan
kerja suaminya. Susan akhirnya memilih berselingkuh dengan pria-pria dari
berbagai negara Eropa, Afrika, Amerika, china bahkan dengan sahabat suaminya sendiri
yang bernama Amir. Susan juga mempunyai kesimpangan seksual dan Susanpun
menganggap dirinya lacur, tetapi di akhir cerita tokoh Susan akhirnya sadar
disaat John Fletcher suaminya sedang gila-gilanya meneliti kalung yang telah
dibelinya dari Amir. Tetapi disaat Susan ingin menyatakan bahwa dia ingin
kembali ke pelukan John, John mendadak meninggal akibat kutukan kalung
tersebut. Karya sastra novel berjudul Siklus ini lebih mendominasikan
karakter tokoh- tokohnya. Tokoh Amir dan Susan cenderung memiliki karakter yang
mirip, karena susan adalah seorang wanita petualang cinta dan seks, demikian
juga dengan Amir yang tidak menikah disebabkan oleh istrinya lari dengan
perempuan lain, sehingga dia ingin balas dendam terhadap wanita-wanita yang
ditemuinya dan mementingkan egonya saja. Tokoh John Fletcher cenderung lebih stabil
dan bijaksana, tetapi jika dihadapkan dengan dunia antropolog, John sudah
mengesampingkan kepentingan pribadinya, hal inilah yang menyebabkan perilaku
Susan yang cenderung menyimpang.
SINOPSIS NOVEL
Amir
dikirim oleh Indonesia untuk menghadiri acara kebudayaan
Internasional di Taipeh. Dalam acara itu, Amir yang tidak lain adalah seorang
penjahat penting di Depanteman Pendidikan dan KebudayaanIndonesia itu,
bertemu dengan John. Dia adalah seorang antropolog kebangsaan Amerika. Mereka
berdua sudah menjadi teman yang akrab. Mereka pernah berteman lama sesama
John di Jakarta beberapa tahun sebelumnya.
Sewaktu
mengkontrol dengan Amir itu, John tiba-tiba kaget pada kalung yang dikenakan
Amir. John langsung menanyakan darimana Amir mendapatkan kalung
tersebut. Amir kemudian menceritakan dari mana kalung itu dia peroleh yaitu
dari teman lama seperjuangananya. Kejadiannya kira-kira hampir seperempat abad
yang lalu. Semasa masih menjadi revolusi fisik di Indonesia dulu.
Waktu itu Busroddin, teman sepejuanganya itu mencoba menolong Amir yang terkena
peluru senapan musuh. Namun sebelum Busroddin menolong Amir, tiba-tiba sebuah
peluru meluncur menembus badan Busroddin yang sedang membungkuk di
atas tubuh Amir yang sednag terluka. Waktu itu Amin sengaja
memagang kalung misteri yang berada dileher Busroddin. Busroddin
waktu itu langsung terkapar dan tak pernah bangkit kembali. Nah kalung yang
tanpa sengaja dipegangnya itu, diambilnya dan disimpanya baik-baik untuk
mengenang temannya itu. Dan Busroddin itu sendiri memperolehnya konon dari
seorang tentara Gurkha yang mati
terbunuh di Surabaya beberapa puluh tahuna yang lalu.
Setelah mendengar cerita Amir itu, John langsung
menerangkan kepada Amir apa dan abagaimana kalung itu sebenarnya. Untuk
lebih memprkuat penjelasanya, John menyerahkan sebuah buku tentang
voodoo pada Amir. Berdasarkan penjelasan John dari buku yang telah
dia baca itu. Amir baru tahu bahwa kalung itu termasuk kalung
yangpenuh misteri. Kalung yang dibuat oleh seorang dukun voodoo Afrika itu
ternyata termasuk salah satu kalung yang sangat berbahaya. Kalung
itu dibuat oleh dukun untuk mengutuk suatu keluarga secara turun temurun. Dan
bagi siapa saja yang menimpan atau memiliki kalung itu, maka si pemiliknya akan
mendapatkan malapetaka.
Sebagai
seorang antropolog, John meninggalkan Susan, istrinya, sendirian di rumah. Isstrinya
sering merasa kesepian dan dia juga menjalin hubungan gelap dengan Amir. John
sering keliling dunia mengejar barang –barang pusaka yang
sedang dia teliti. Itulah sebabnya, karena sering ditinggalkan suaminya, dia juga
mengadakan hubungan gelap dengan Ching. Ching adalah seorang kongklomerat Taiwan
yang wajahnya mirip dengan Amir.
Hubungan
gelap antara Ching dan Susan ini sudah diketahui oleh John. Naumn John tidak
bisa berbuat apa-apa, sebab masalah itu timbul bagaimanapun adalah karena dia
sering berpergian. Hubungan sama istrinya sebenarnya belum pernah
harmonis. Maknya, ketika John melihat kalung yang tadinya diletakan telentang,
tiba-tiba menelungkup, John langsung mengira bahwa istrinya sudah
mulai senang dan memperhatikan dirinya.
Untuk
itu, karena saking gembira, John langsung mencari istrinya sambil membawa
kalung yang bergambar hantu bengis itu. Susan istrinya itu kebetulan sedang
berada dilantai atas. Dan John pun langsung menuju ke lantai atas dengan
tergesa-gesa. Namun sialnya, karena terlalu tergesa-gesa, John terpeleset dari
lantai atas. John jatuh terguling sampai ke bawah. John langsung tidak sadarkan
diri untuk selama-lamanya. Kalung yang masih tergenggam erat ditanganya
itu menyeringai mengerikan.
Mendengar
sahabatnya, John, meninggal dunia Amir langsung menuju Nebraskha
untuk melayat. Dari Susan, istri John itu, Amir mendengar cerita semuanya
perihal kematian John. Juga Susan menceritakan bagaimana
kalung misteri bergambar hantu bengis itu tanpak menyeriangi garang.
Amir mengambil kalung itu dan membaca tulisan yang ada dibalik
kalung. Di situ tertulis tanggal 16 Juli, hari kamis. Itu adalah
tanggal dan hari kematian Busroddin dua puluh empat tahun yang lalu.
Dan ternyata tepat pula dengan hari dan tanggal kematian John Flitcher!.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan
bahwa novel ini mengungkapkan makna bahwa “bagaimanapun manusia memperhitungkan
kehidupannya, akhirnya nasib atau takdir-lah yang menentukannya”. Artinya,
bahwa betapapun manusia merasa dirinya modern dan mengabaikan hal-hal yang
berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kutipan berikut ini lebih
menjelaskan makna keseluruhan novel Siklus.
Karya sastra novel berjudul Siklus ini lebih
mendominasikan karakter tokoh- tokohnya. Tokoh Amir dan Susan cenderung
memiliki karakter yang mirip, karena susan adalah seorang wanita petualang
cinta dan seks, demikian juga dengan Amir yang tidak menikah disebabkan oleh
istrinya lari dengan perempuan lain, sehingga dia ingin balas dendam terhadap
wanita-wanita yang ditemuinya dan mementingkan egonya saja. Tokoh John Fletcher
cenderung lebih stabil dan bijaksana, tetapi jika dihadapkan dengan dunia
antropolog, John sudah mengesampingkan kepentingan pribadinya, hal inilah yang
menyebabkan perilaku Susan yang cenderung menyimpang.
DAFTAR PUSTAKA
Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/teori-psikologi-sastra-ala-sigmund-freud diakses 17 April 2012
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20867/4/Chapter%20I.pdf
DIAKSES 17 April 2012-04-17
Sebuah novel perjuangan hidup yang wajib dibaca :)
BalasHapus