Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang
Situs Internet :
Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT)
(http://www.mext.go.jp/english/)
Materi ini diambil dari Makalah yang disampaikan pada Seminar Internasional di
Semarang tgl 3 April 2010.
1. Pendahuluan
Pendidikan di lembaga sekolah tidak bisa berjalan jika hanya ada siswa, guru,
bangunan dan fasilitas sekolah. Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan
baik jika materi belajar telah disepakati. Materi belajar tersebut tidak hanya
berupa rangkaian kalimat yang menerangkan cakupan konten pembelajaran, tetapi
juga memuat berapa lama harus diajarkan, tujuan pengajaran, dan bagaimana
mengajarkannya. Inilah yang sering disebut sebagai kurikulum.
Tetapi kurikulum tidaklah sesederhana itu. Ada tiga tugas utama guru/pendidik
di Jepang yaitu gakushū shidōu (membimbing pembelajaran), seito
shidō
(membimbing siswa), dan kōmubunshō (tugas
administrasi/managerial sekolah). Membimbing pembelajaran maksudnya adalah
mengajarkan mapel dan membina ekskul. Membimbing siswa maksudnya membina siswa
untuk memiliki konsep berfikir yang manusiawi, membiasakan perilaku baik di
dalam kehidupannya. Adapun tugas administrasi misalnya guru berperan sebagai
penanggung jawab perlengkapan sekolah, memberikan bimbingan kelanjutan sekolah,
dll. Agar pengejewantahan ketiga tugas/fungsi guru tersebut dapat berjalan
dengan baik, maka perlu disusun perencanaan. Perencanaan itulah yang disebut
kyouiku katei (rencana kurikulum) di Jepang.
Siapa yang harus membuat rencana kurikulum ? Pada sistem pendidikan
tradisional, kurikulum disusun oleh lembaga pendidikan bersangkutan, namun
dengan dijadikannya pendidikan sebagai bagian yang harus dikelola oleh negara,
dan lembaga sekolah mulai diformalkan, maka otomatis penyusunan kurikulum pun
menjadi tanggung-jawab pemerintah.Pembuatan kurikulum oleh pemerintah
memungkinkan keseragaman lembaga pendidikan di seluruh negeri.Tetapi apa yang
disusun oleh pemerintah hanyalah sebuah standar atau pembakuan yang selanjutnya
merupakan acuan/pedoman dalam penyusunan kurikulum khas sekolah yang menjadi
tanggung jawab kepala sekolah dan aparatnya.
Jepang sekalipun telah menstandarkan semua fasilitas pendidikannya dan
sekaligus telah menerapkan standar kualifikasi minimal untuk para gurunya, sehingga
pelaksanaan kurikulum di setiap lembaga sekolah boleh dikatakan seragam, tetap
saja tidak bisa menjamin hasil pendidikan dengan mutu seragam. Perbedaan
pemahaman dan intrepretasi terhadap reformasi pendidikan di kalangan para
pendidik adalah hal wajar dan tidak bisa dihindari.
Pembaharuan kurikulum adalah hal yang mutlak terjadi, sebab pendidikan juga
berjalan mengikuti zaman dan perubahan. Sama halnya dengan Indonesia kurikulum
pun telah mengalami perubahan beberapa kali di Jepang. Perubahan tersebut mau
tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi
pendidik di Jepang.
Makalah ini akan menganalisa reformasi pendidikan dan kurikulum yang telah
berlangsung di Jepang sejak perang dunia kedua, sekaligus mengurai fakta serta
alasan yang melatarbelakanginya.Dengan memahami karakteristik kurikulum
tersebut, makalah ini akan menguraikan bagaimana guru dan pendidik dibina dan
dikembangkan sejalan dengan perubahan yang berlangsung.
2. Reformasi Pendidikan di Jepang
Menurut Hara Kiyoharu (2007:3), reformasi pendidikan di Jepang telah
berlangsung tiga kali yaitu, reformasi pada masa restorasi Meiji, reformasi
sesudah PD II, dan reformasi menuju abad 21.
Reformasi pertama pada masa Meiji (1872-1890) membawa pendidikan di Jepang
memasuki masa modern dengan diterapkannya sistem persekolahan yang terstruktur
dan kesempatan luas bagi warganegara untuk mengakses pendidikan. Tetapi
pendidikan pada masa ini masih terkotak-kotak antara pendidikan elitis dan
pendidikan orang kebanyakan. Selanjutnya pada era Taishō
(1912-1926) diperkenalkan pula pendidikan liberal yang dipengaruhi oleh paham
liberalism yang berkembang di Amerika.
Reformasi kedua sesudah PD II intinya adalah penerapan wajib belajar dan
penerapan pendidikan demokratis. Dengan adanya pembaharuan ini, jumlah siswa
yang dapat mengakses pendidikan dasar meningkat dan pendidikan telah berubah
dari pendidikan elit menuju pendidikan massal.
Reformasi ketiga dirancang oleh Chuuoukyouikusingikai dan Rinjikyouikusingikai,
yaitu Tim Khusus yang ditunjuk oleh Perdana Menteri untuk membantu mencarikan
pemecahan permasalahan pendidikan yang akan diusulkan kepada PM dan diterapkan
oleh Menteri Pendidikan. Tahun 2001 Kementrian Pendidikan Jepang mengeluarkan
rencana reformasi pendidikan di Jepang yang disebut sebagai “Rainbow Plan”.
1.Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang
menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri dari
20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan
pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
2.Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan
terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan
mutu pembelajaran moral di sekolah
3.Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan,
diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial
lainnya
4. Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan
masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara
mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councillor,
komite sekolah yang beranggotakan orang tua, dan pengembangan sekolah
berdasarkan keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
5.Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan
pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang
berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan
etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
6.Pengembangan universitas bertaraf internasional
7.Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru,
melalui reformasi konstitusi pendidikan kyouiku kihon hou) (MEXT, 2006).
Perubahan Jepang menjadi negara industri membawa dampak yang sangat besar dalam
masyarakatnya. Negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam PD II dan pada
dasarnya tidak memiliki sumber daya alam yang memadai terpacu untuk membangun
negerinya secara besar-besaran. Dapat dikatakan bahwa generasi kunci kemajuan
Jepang adalah generasi yang lahir pada masa perang, atau kira-kira berumur
25-30 tahunan pada tahun 60-70an. Mereka mewarisi jiwa gambarism pendahulunya
yang sukses menaklukkan beberapa negara di Asia.
Era 60-an ditandai pula sebagai era shinkansen, transportasi super cepat.
Rel-rel dibangun melintasi wilayah Jepang sekalipun pada waktu itu banyak
sekali protes dari masyarakat. Tetapi proyek shinkansen akhirnya membawa
kemajuan ekonomi Jepang semakin pesat, sekaligus meningkatnya kompetisi dalam
masyarakat Jepang yang semula dikenal sangat homogen.
3. Reformasi Kurikulum di Jepang
Kurikulum sekolah di Jepang disusun oleh bagian perencanaan kurikulum yang
terdapat dalam Kementrian Pendidikan (MEXT). Panduan kurikulum di sekolah disebut
Gakushū
shidōyōryō (GS) yang
diakui secara hukum, sehingga pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi
hukum. GS merupakan panduan kurikulum untuk SD (shōgakkō), SMP (chūgakkō), SMP-SMA
satu atap (chūtōkyōikugakkō), SMA (kōtōgakkō), dan SLB
(tokubetsushiengakkō). Sedangkan untuk panduan kurikulum Taman
Kanak-Kanak (yōchien)
disebut yōchienkyouikuyōryō[1].
Panduan kurikulum yang pernah berlaku di Jepang adalah GS 1947, GS 1951, GS
1961, GS 1971, GS 1980, GS 1992, dan GS 2002. Penamaan tersebut berdasarkan
tahun penerapannya di level SD. Sebagai contoh, kurikulum 1947 adalah kurikulum
yang disusun dua atau tiga tahun sebelumnya, dan diterapkan secara tuntas di
level SD pada tahun 1947. Pengecualian untuk kurikulum SMA yang mengalami
pembaharuan juga pada tahun 1956.
Kurikulum yang rencananya akan diterapkan pada dekade selanjutnya adalah GS
2011. Penyusunan dan publikasi kurikulum ini dilakukan tiga tahun sebelum
diterapkan. Misalnya untuk reformasi kurikulum SD yang direncanakan akan
diterapkan pada tahun 2011 dan SMP yang akan diterapkan tahun 2012, telah
terselesaikan penyusunannya pada 28 Maret 2008. Sementara itu kurikulum untuk
SMA dan SLB yang akan diterapkan tahun 2013 telah diselesaikan penyusunannya
dan diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan pada 9 Maret 2009.
Kurikulum pertama, GS 1947 adalah kurikulum yang banyak dipengaruhi oleh
reformasi pendidikan pasca perang. Beberapa mata pelajaran pada jaman sebelum
perang seperti shūshin (mental/spirit education), geografi (chiri) dan
sejarah (rekishi) dihapus di level SD[2], dan mapel baru diperkenalkan yaitu
IPS dan Jiyūkenkyū
(penelitian bebas), serta pelajaran keterampilan (homemaking) diberikan tanpa
membedakan jenis kelamin siswa (co-education)[3].
[1] TK di Jepang lebih cenderung merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan
kebiasaan sehari-hari, oleh karena itu pendidikan di level TK bukanlah
pengajaran (gakushū), tetapi lebih tepat disebut kyōiku
(pendidikan)
[2] Mapel ini diberikan pula di Kokumingakkō (Sekolah
Rakyat) di Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
[3] Homemaking pada masa sebelum PD II diajarkan terpisah, sebagaimana kita
ketahui SD, SMP dan SMA pada masa pendudukan Jepang di Indonesia juga
menerapkan sistem pemisahan siswa dan siswi.
4. Sifat dan Karakteristik Kurikulum Jepang
a. SD
Kurikulum SD di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia. Perbedaan
nyata terlihat pada mata pelajaran seikatsuka (kebiasaan hidup) yang diajarkan
di kelas 1 dan 2. Mapel ini bertujuan untuk membiasakan anak-anak dengan cara
hidup mandiri sehari-hari. Daripada mulai mengajarkan IPA atau IPS, Jepang
lebih memilih memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari kepada anak-anak
yang baru menyelesaikan pembelajaran di TK yang lebih memfokuskan kegiatan
bermain daripada belajar di dalam kelas.
Pembelajaran bahasa Jepang dan berhitung diajarkan lebih banyak dibandingkan
pelajaran lainnya. Pendidikan OR juga menjadi mapel yang diajarkan dalam jumlah
yang melebihi mapel lainnya selain bahasa dan berhitung. Adapun pendidikan
moral diajarkan tidak secara khusus dalam mapel tertentu, tetapi diajarkan oleh
wali kelas sejam seminggu atau diintegrasikan melalui pembelajaran mapel lain.
Sekolah-sekolah agama diperkenankan mengajarkan agama (Kristen, Buddha, Sinto)
sebagai bagian dari pendidikan moral. Selain pendidikan akademik, pendidikan
estetika berupa musik dan menggambar juga diajarkan dalam porsi besar di kelas
1 dan 2.
b. SMP
Kurikulum SMP juga menitikberatkan pada pendidikan bahasa Jepang, matematika,
IPA dan IPS. Pelajaran bahasa asing diajarkan dalam bentuk mapel pilihan, di
antaranya bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Jerman. Pelajaran bahasa
Inggris baru dijadikan mapel wajib di level SMP pada kurikulum 2002.
Pendidikan kesehatan jasmani diajarkan dalam jumlah jam belajar yang sama dengan
SD (90 jam), tetapi berbeda dengan SD, pendidikan kesehatan di SMP terdiri atas
Olahraga dan pendidikan jasmani.
Adanya mata pelajaran pilihan di SMP, yaitu bahasa Jepang, IPS,
Matematika,IPA,Musik, Art, Pendidikan Jasmani Kesehatan, Keterampilan/ Homemaking,
dan bahasa Asing, merupakan perbedaan khas antara kurikulum SMP di Indonesia
dan Jepang. Alokasi waktu pembelajaran integrated course juga diberikan lebih
besar dibandingkan dengan mapel yang sama di SD.
Pendidikan dasar di Jepang juga dilengkapi dengan tokubetsukatsudou yang dapat
diterjemahkan sebagai aktivitas khusus atau semacam ekstra kurikuler di
Indonesia, tetapi agak berbeda karena kegiatan ini meliputi OSIS, kegiatan
kelas, kegiatan klub olahraga dan seni, event sekolah dan pendidikan moral.
Event sekolah seperti festival sekolah (gakkousai) dipersiapkan per kelas
dengan bimbingan penuh dari wali kelas.
c. SMA
Dibandingkan kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling sering
berubah. Perubahan tampak pada nomenklatur mapel, kategorisasi, dan sistem
penjurusan. Sifat khas kurikulum SMA adalah kompleksnya mapel yang diajarkan.
Pelajaran bahasa Jepang tidak saja dibedakan atas tatabahasa dan sastra, tetapi
dikelompokkan lebih detil lagi menjadi pendidikan bahasa Jepang, literature
klasik dan literature modern. Bahasa Asing sebelum kurikulum 2002 masih
memperkenalkan bahasa Jerman dan bahasa Perancis, tetapi sejak kurikulum 2002
yang dimaksud dengan bahasa asing adalah bahasa Inggris yang diajarkan dalam
secara detil.
Penjurusan dilakukan sejak kelas 3 SMA, dan jurusan yang ada pada dasarnya
adalah jurusan rika (IPA) dan bunka (budaya/sosial). Tetapi penjurusan
mengalami perkembangan semenjak semakin banyak lulusan SMA yang memilih akademi
atau college dan memilih bekerja.Penjurusan dikembangkan dengan beragam mapel
yang terkait dengan teknik, pertanian,perikanan, kesejahteraan masyarakat,
dll.Beberapa sekolah membagi lebih detil lagi penjurusan menjadi Jurusan yang
dipersiapkan untuk menghadapi ujian masuk universitas negeri dan Jurusan yang
memilih universitas swasta. Misalnya, Rika A adalah kombinasi jurusan IPA dan
persiapan ujian masuk PTN. Selain integrated course, pelajaran IT juga baru
dimasukkan dalam kurikulum 2002.
d. Yutorikyouiku, 5 hari sekolah, Ikiru chikara, dan Sōgotekina gakushū jikan
Kurikulum SD cenderung statis dari segi perubahan mata pelajaran, tetapi
terlihat kecenderungan penurunan jumlah jam belajar per tahun. Penurunan jam
pelajaran ini terlihat secara nyata sejak tahun 1980, yaitu ketika
yutorikyouiku mulai diperkenalkan.Kurikulum 1971 adalah kurikulum yang sangat
sarat materi sementara sekolah-sekolah di Jepang belum memadai baik dari segi
fasilitas maupun kemampuan guru-gurunya. Sehingga kurikulum tersebut terlalu
memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu muncullah ide untuk memberikan
pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang. Itulah yang
disebut yutorikyouiku. Jumlah jam pelajaran SD per tahun berkurang sebanyak 36
jam, dan SMP sebanyak 385 jam.
Pelaksanaan yutorikyouiku membawa dampak yang kurang bagus kepada anak-anak
Jepang. Guru-guru Jepang tidak semuanya siap dan dapat memahami konsep
yutorikyouiku dengan baik. Tindakan memberikan ruang dan waktu kepada siswa SD
dan SMP memang terbukti dapat mengurangi rasa stress siswa akibat pelaksanaan
kurikulum yang ketat sebelumnya, tetapi sekaligus menyebabkan minat belajar
yang menurun. Kedisiplinan mulai mengendor, dan beberapa pihak mulai memprotes
sistem yutorikyouiku.
Yutorikyouiku telah disalahartikan dalam penerapannya. Sistem pendidikan ini
sebenarnya bukan bermaksud mengendorkan kedisiplinan tetapi hanya mengurangi
materi belajar yang memberatkan pada setiap mapel. Dengan sistem ini diharapkan
anak-anak dapat berkembang sesuai dengan minat dan kesukaannya. Pembelajaran di
sekolah seharusnya diselenggarakan secara lebih menyenangkan. Oleh karena itu
istilah tanoshii jugyou (kelas yang menyenangkan) juga diperkenalkan sebagai
salah satu alternatif implementasi yutorikyouiku. Tetapi banyak guru yang
kesulitan menciptakan kelas yang menyenangkan, atau sebaliknya guru terpaku
pada kata menyenangkan, sehingga mengurangi kedisiplinan dan motivasi belajar
siswa. Akibat akhirnya justru berdampak pada menurunnya prestasi akademik
siswa-siswa Jepang.
Indikator pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah
pengukuran internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA
dan TIMMS, sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun
1995, prestasi siswa SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun
selanjutnya mengalami penurunan. Pemerintah dan masyarakat mulai meragukan
proses pendidikan di sekolah, dan guru-guru mendapat sorotan yang tajam sebagai
pihak yang tidak mampu mendidik dengan baik.
Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga menerapkan 5 hari
sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan ini adalah agar
siswa dapat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga dan belajar
lebih banyak di lingkungannya pada akhir pekan. Akan tetapi alih-alih belajar
di lingkungan atau di keluarga, anak-anak dan orang tuanya justru kurang
memahami hal ini, sehingga anak-anak bermain game di rumah, ikut ibunya
berbelanja, atau banyak juga anak yang malah memanfaatkan waktu tersebut untuk
ikut berbagai les privat.
Anak-anak yang memanfaatkan waktu liburnya dengan belajar, tentu saja memiliki
prestasi akademik yang baik pula, tetapi sebagian besar anak justru
menghabiskan waktu untuk bermain, sehingga wajar saja prestasi akademik
anak-anak kemudian menurun.
Dengan hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan
untuk melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan akademik) tahun
2007, yang sebenarnya pernah dilaksanakan pertama kali pada tahun 1960, tetapi
kemudian dihentikan pada tahun 1968 karena kenyataannya wilayah/distrik secara
alami memiliki perbedaan dari sumber daya yang kemudian mengakibatkan perbedaan
pelaksanaan pendidikan. Kebijakan ini dilaksanakan kembali setelah tidak
berjalan kurang lebih 43 tahun.
Karakteristik kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina
gakushū
jikan. Konsep ikiru chikara adalah konsep yang hendak membudayakan jiwa dan
melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah masyarakat. Konsep ini
dijabarkan sebagai hal yang harus dididikkan untuk mempersiapkan generasi muda
Jepang memasuki abad 21.
Konsep ikiru chikara selanjutnya diikuti dengan kebijakan sōgōtekina
gakushū
jikan pada kurikulum 2002. Konsep sōgōteki gakushū jikan
adalah konsep pembelajaran tematik, mengajak siswa untuk mengenal lingkungan,
budaya dan alam sekitarnya, kehidupan masyarakat, ekonomi desanya, industri
yang ada di lingkungan tinggalnya.
Implementasinya misalnya, sebuah sekolah menerapkan weekly trial, yaitu
kesempatan bagi anak-anak untuk mencoba menjadi penjual, nelayan, pelayan di
restoran, dll.
Pada dasarnya pemahaman guru terhadap sōgōteki
gakushuu jikan menurut Kiyohara (2007) masih sangat rendah. Beberapa sekolah
yang tidak memiliki konsep yang baik, terpaksa meniru penerapan di sekolah
lain.Konsep sōgōtekina
gakushū
jikan bukan sekedar belajar di luar buku pelajaran atau pembelajaran ekstra
kurikuler, tetapi dalam penerapannya anak-anak tetap harus diasah dan diuji
kemampuan kerja otak, jiwa, dan tubuhnya. Oleh karena itu ketika berperan
sebagai nelayan misalnya, mereka belajar prinsip-prinsip matematika, belajar
berkomunikasi dengan baik, belajar tentang ilmu bumi dan cuaca. Bukan sekedar
pengalaman kerja (lih.Ramli, 2008a).
Pertukaran budaya asing (internasionalisasi) termasuk wacana yang diusung dalam
sougotekina gakushū jikan. Pengenalan terhadap budaya asing diberikan
melalui presentasi mahasiswa asing di kelas-kelas TK, SD, SMP, dan SMA. Ini
bisa dilakukan dengan mengedarkan permintaan kepada universitas-universitas di
daerah setempat. Siswa-siswa juga diminta mencari informasi sebanyak mungkin
tentang negara asing dan menyusun sebuah presentasi. Beberapa sekolah
menerjemahkan pembelajaran budaya asing ini dengan misalnya mengumpulkan
bantuan untuk anak-anak korban bencana di Indonesia, seperti yang dilakukan
oleh beberapa sekolah di Aichi.
5. Impelementasi Kurikulum dan Kompetensi Guru
Pedoman pembelajaran/kurikulum harus diramu di sekolah agar menjadi bahan ajar
yang cocok dengan kondisi siswa dan sekolah. Pekerjaan meramu ini bukan
pekerjaan yang mudah dan banyak guru yang gagal, lalu hanya sekedar meniru
ramuan sekolah lain. Proses peramuan memerlukan analisa dan survey yang detil
tentang kondisi dan potensi siswa dan sekolah (termasuk guru).Oleh karena itu
untuk menerapkan hal ini, pertama, sekolah-sekolah di Jepang mengembangkan
survey sekolah secara berkala (lih.Ramli,2009). Survey yang diselenggarakan
termasuk dalam rangkaian evaluasi sekolah, misalnya survey tentang kesehatan
siswa, kebiasaan sehari-hari, jam belajar siswa, dll.Kedua, sekolah (guru)
mempelajari potensi daerah yang selayaknya diajarkan kepada siswa. Setelah
pemahaman ini ditangkap, kepala sekolah dan guru mengontak pihak terkait untuk
bekerja sama menerapkan kurikulum yang diinginkan. Ketiga, membicarakan
penerapannya dengan pihak orang tua yang tergabung dalam Parent Teacher
Association (PTA).
Termasuk dalam pembinaan kompetensi aparat sekolah dan guru adalah kewajiban
untuk membuat laporan tertulis. Sistem pelaporan ini sekaligus melatih guru
untuk mengembangkan kemampuan menulis ilmiah. Terkadang laporan tersebut
dikembangkan sebagai penelitian terpadu dan dipresentasikan di seminar-seminar.
Sebagaimana dikritik oleh beberapa pakar pendidikan bahwa kebanyakan kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang muncul bukan dari pemikiran
bawah. Oleh karena itu banyak yang tidak bisa diterapkan di sekolah secara
optimal, dan pada akhirnya mendapat protes keras dari Teacher Union (Nikkyouso
dan Zenkyou).
Ketidakmampuan guru-guru di Jepang untuk segera dapat menerjemahkan keinginan
pemerintah/pembuat kebijakan barangkali karena konsep-konsep baru yang diadopsi
berbeda dengan konsep yang mereka pelajari saat mengikuti pendidikan guru.
Guru-guru di Jepang adalah lulusan dari Normal School (semacam SPG), Kyouiku
daigaku (Educational College), atau Fakultas Pendidikan Universitas.
Sistem sertifikat mengajar telah dikembangkan di Jepang sejak tahun 1886, yang
hanya diberikan kepada guru yang lolos dalam ujian seleksi guru. Guru-guru
tersebut bertugas di Ordinary Normal School, Ordinary Middle School, dan Girl
High School.
Jenis sertifikat ada empat, yaitu sertifikat kelas satu, kelas dua, kelas tiga
dan non kelas. Perubahan jenis sertifikat dapat terjadi jika seorang guru telah
memiliki pengalaman mengajar. Pada tahun 1892, pemberian sertifikat kepada guru
pengajar ordinary normal school dibuat secara terpisah, dengan tetap
mempertahankan sertifikat kelas satu dan kelas dua. Sedangkan kelas tiga dan
non kelas diberikan kepada asisten guru. Pelaksanannya berlangsung dua tahap,
yaitu tahap pertama secara otomatis pemilik gelar sarjana atau lulusan sekolah
keguruan memperoleh sertifikat kelas satu, tanpa atau dengan mengikuti ujian
khusus untuk menjadi guru, sedangkan non lulusan sekolah keguruan atau
kesarjanaan yang mengikuti ujian guru dan lolos akan memperoleh sertifikat
kelas dua.Tahap kedua diberikan setelah mengabdi beberapa tahun sebagai guru
(lih.Ramli,2008b).
Tahun 1894 lahir peraturan sertifikasi baru yang tidak mengkelas-kelaskan jenis
sertifikasi, tetapi memberikan lisensi mengajar kepada semua lulusan
universitas umum dan universitas khusus wanita (yang berkecimpung di bidang
pendidikan keguruan. Hanya ada satu di Jepang waktu itu, yaitu di Nara).Tahun
1896, hak memberikan sertifikasi guru diberikan sepenuhnya kepada rektor
universitas. Tahun 1899 berlaku peraturan sertifikasi untuk lulusan universitas
negeri maupun swasta, college, dan universitas asing.Tahun 1990 sistem
sertifikasi sepenuhnya dipegang oleh MEXT dan lisensi hanya diberikan kepada
lulusan sekolah keguruan atau fakultas pendidikan universitas. Bagi non lulusan
fakultas pendidikan diperkenankan mengikuti ujian seleksi yang penanganannya
dilakukan oleh komite khusus sertifikasi guru (MEXT, 2007).
Monbukagakusho memberlakukan sistem `school councillor`, yang pada tahun 2003
tercatat hampir 7000 sekolah memiliki badan ini. Pemerintah juga menganjurkan
sekolah untuk lebih terbuka kepada masyarakat dan orang tua melalui pelaksanaan
evaluasi sekolah oleh pihak luar sekolah (gaibu gakkou hyouka), yang dengan ini
pula sekolah harus lebih transparan dalam mengungkapkan proses belajar mengajar
di sekolah, juga admnistrasi dan manajemen sekolah.
Sistem sertifikasi ulang yang dikenal dengan `kyōinmenkyokōsinsei`
(=sistem pembaruan sertifikasi guru) tidak saja merupakan jawaban terhadap
perubahan sosial masyarakat tetapi juga sebagai salah satu instrument pelengkap
pelaksanaan sekolah yang terbuka kepada konsumernya.Dengan kebijakan ini,
guru-guru diharuskan untuk mengikuti `training penyegaran` setiap 10 tahun
sekali. Dalam definisi
Monbukagakusho, kriteria guru yang bermutu harus disesuaikan dengan era global
dan perubahan struktur masyarakat Jepang yaitu, karena semakin panjangnya daya
hidup orang Jepang dan semakin menurunnya jumlah kelahiran, yang menyebabkan
masyarakat Jepang menuju kepada `aging society`, yaitu masyarakat dengan
populasi penduduk usia tua lebih banyak daripada penduduk usia muda.
Ide untuk melaksanakan sertifikasi ulang terhadap lisensi mengajar bukan hal
yang mudah diterima oleh kalangan guru di Jepang, apalagi data guru yang tidak
layak mengajar (shidō fuzoku kyouin) sebagian besar adalah guru-guru
senior. Sebagaimana dipahami masyarakat Jepang sangat menghormati system
senioritas, terbukti dengan adanya sistem gaji berdasarkan senioritas dan masa
kerja yang lama, pun juga berbagai kelebihan dalam dunia bisnis yang dimiliki
oleh senior. Gaji guru yang telah bekerja 20 tahun di Jepang lebih besar
daripada gaji guru yang sudah bekerja 5 tahun. Dalam bisnis di Jepang pun
sangat mudah terjadi transfer pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain, baik
dalam perusahaan yang sama ataupun perusahaan yang berbeda bidang.Sistem
training di dalam tempat bekerja pun menjadi hal yang lazim (Watanabe &
Edwin,1993).
Sistem pengembangan profesionalisme guru di Jepang juga menganut sistem
senioritas, yaitu guru-guru senior berkewajiban membimbing guru-guru baru.
Penulis hendak mengutip apa yang pernah penulis tuliskan dalam blog Berguru,
blog tentang pendidikan Jepang dan Indonesia yang penulis buat sebagai berikut
:
“Tradisi pelatihan guru muda di Jepang tidak berubah, yaitu setahun pertama
semua guru fresh graduated harus menjalani in-service training, untuk mengenali
semua tugas dan kewajiban administratur sekolah (kepala sekolah, wakasek, dan
pejabat lain), serta memahami tugas guru. Penulis pernah membaca sebuah laporan
hasil training seorang guru muda dan sangat mengagumkan karena guru tersebut
menuliskan secara detil apa saja kegiatan yang harus dilakukannya detik per
detik sejak dia datang ke sekolah hingga pulang. Dan yang lebih mencengangkan,
dia telah mengamati seharian kerja wakasek, sehingga secara detil mengurutkan
apa yang harus dilakukannya setiap hari. Di sekolah-sekolah Jepang, orang yang
paling sibuk sehari-harinya adalah wakasek. Wakasek hanya ada satu orang, dan
dia yang bertugas mulai dari mengecek bel sekolah sampai mengagendakan kegiatan
harian kepala sekolah.
Barangkali tidak sama dengan Indonesia yang guru-guru mudanya lebih “berani”
berkata keras atau berselisih paham dengan guru senior, di Jepang hal ini
hampir tidak pernah ditemukan. Tradisi yang kuat berakar bahwa senior harus
didengarkan dan dihormati masih terus dipegang, dan orang yang menentangnya
akan segera dikucilkan.Lalu bagaimana kalau berselisih paham? Jika memiliki ide
baru, si guru muda harus membuktikannya dalam perbuatan dulu. Maksudnya tidak
sekedar dalam taraf ucapan, tapi harus sampai pada taraf aplikasi. Dan satu hal
yang harus diingat, kalimat dan ucapan yang harus dipergunakan ketika berbicara
dengan guru senior adalah kalimat yang sangat sopan. Biasanya lulusan perguruan
tinggi telah belajar sistem penghormatan kepada senior di level SMA dan di PT.
Sama halnya dengan Indonesia, tidak semua guru senior di Jepang adalah guru
yang baik. Tetapi sistem pendidikan guru dan perekrutannya sudah diusahakan
baik, maka harapannya jika sistem berjalan baik, tentunya akan meraih sukses
seperti yang dimaui. Ibaratnya kita membicarakan hukum pemberantasan korupsi,
jika hukumnya telah baik, maka tinggalah mendidik agar oknumnya 50% lebih
mematuhi dan menjalankan hukum itu. Dan saya berani menyimpulkan bahwa 50%
lebih guru Jepang menjalankan sistem dengan baik. Guru senior berkewajiban
mendidik guru junior. Tentu saja jika guru seniornya kurang baik, maka hasilnya
bisa saja guru junior pun kurang baik, atau bisa juga guru junior mampu
memperbaiki diri. Tapi pola pembinaan senior junior adalah mutlak dilakukan”.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Jepang memiliki
karakteristik pengembangan yang berusaha menyesuaikan kondisi dan pemikiran
masyarakat Jepang. Perubahan tersebut juga mengikuti perkembangan yang terjadi
di dunia internasional. Perubahan kurikulum di fase awal pasca perang dunia
kedua berlangsung dalam waktu yang singkat, sementara perubahan selanjutnya
berlangsung 10 tahunan. Penyusunan kurikulum telah diselesaikan tiga tahun
sebelum dipublikasikan kepada khalayak untuk mendapatkan masukan, dan
selanjutnya diterapkan secara bertahap di sekolah. Kurikulum pendidikan dasar
(SD) tidak mengalami perubahan yang drastis, namun kurikulum pendidikan
menengah (SMP dan SMA) cukup berkembang sesuai zamannya.
Namun tidak semua perubahan tersebut dapat dimengerti oleh guru dengan baik.
Untuk mempersiapkan guru dengan kompetensi dan kualifikasi dasar yang sama, pemerintah
Jepang telah mempersiapkan sistem penerimaan guru yang sistematis dan berlaku
dalam waktu yang panjang dan program pelatihan guru baru, in-service training
yang terus menerus.
Kompetensi guru diperbaharui melalui program pembaruan sertifikasi guru yang
berlangsung per sepuluh tahunan, dan proses komunikasi, konsultasi dan
pelaporan.Melalui program ini, perubahan-perubahan dalam kurikulum Jepang dapat
dimasyarakatkan di kalangan guru.
Referensi :
Hara, K. 2007. Gakkō kyōikukateiron. Tokyo: Gakkobunsya
Watanabe, A. and Edwin L. Herr. 1993. “Career Development Issues Among Japanese
Work Groups.” Journal of Career Development, Vol. 20, pp 61-72
Ramli,M. 2008a. Apa Yang Seharusnya Diajarkan Kepada Anak Tentang Kota Dan
Transportasi ? Inovasi Online, 10 (10), pp. 61-66.PPI Jepang
———-. 2008b. Kebijakan Evaluasi Guru di Jepang,Educationist,2(2), pp.112-122.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung bekerjasama dengan LPTKI
———-. 2009.Membina Siswa dan Sekolah Sehat di Jepang.Inovasi Online,13(22),
pp.35-47.PPI Jepang