Jumat, 30 Maret 2012

KAJIAN SEMIOTIK DRAMA ORKES MADUN I MADEKUR DAN TARKENI KARYA ARIFIN C. NOER

By : Hikhmah Oky Pravitasari
12 Maret 2012


A.    PENGANTAR
        Kata “drama” berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, beraksi, dan sebagainya. Ada beberapa pengertian yang dirumuskan oleh banyak ahli di bidang drama. Menurut Aristoteles, drama adalah tiruan (imitasi) dari action. Menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented action). Menurut Ferdinand Brunetierre, drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak. Menurut Dietrich, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas di hadapan penonton (audience). Sedangkan Nadjid (2009:18) mendefinisikan drama sebagai karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog para tokoh. Dalam makalah ini akan dibahas kajian semiotik dalam drama Orkes Madun 1 madekur dan Tarkeni.
        Naskah drama Orkes Madun Karya Arifien C. Noer ini merupakan caturlogi dari naskah drama Madekur dan Tarkeni, Umang-umang, Sandek Pemuda Pekerja, dan Ozone. Semula naskah drama Orkes Madun dinyatakan dalam bentuk trikologi, namun seiring waktu naskah drama Orkes Madun menjadi pentalogi dengan naskah kelima yang berjudul Magma. Sayangnya sebelum Magma terwujud dalam bentuk naskah jadi, Arifien C. Noer meninggal.
        Arifin C. Noer--nama lengkapnya Arifin Chairin Noer adalah dramawan, penulis sajak, penulis skenario, serta sutradara film dan sinetron. Ia dilahirkan di kota Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995. Ia mulai menulis sejak duduk di bangku SMA di kota Solo akhir tahun 1950-an. Karya-karyanya tersebar di berbagai penerbitan, surat kabar, dan majalah, antara lain, Indonesia, Sastra, Gelora, Basis, Suara Muhammadiyah, dan Horison. Mula-mula tulisannya berupa sajak curahan perasaan cintanya kepada seorang gadis, Nurul Aini (1963), yang kemudian ternyata menjadi istrinya. Demikian pula naskah lakon yang ditulisnya, misalnya "Prita Istri Kita" (1967) yang kemudian dipersembahkan sebagai mas kawinnya. Kemudian, Arifin menulis sajak dan naskah lakon yang sangat religius, humanis, sosial, dan absurd. Ia juga menulis skenario film dan sinetron serta kritik dan esai drama dan seni pentas yang lain.
      Buku kumpulan sajaknya adalah (1) Nurul Aini (1963), (2) Siti Aisah (1964), (3) Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967), (4) Selamat Pagi, Jajang (1979), dan (5) Nyanyian Sepi (1995). Buku dramanya adalah (1) Lampu Neon (1960), (2) Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), (3) Nenek Tertjinta (1963), (4) Prita Istri Kita (1967), (5) Mega-Mega (1967), (6) Sepasang Pengantin (1968), (7) Kapai-Kapai (1970), (8) Sumur Tanpa Dasar (1971), (9) Kasir Kita (1972), (10) Tengul (1973), (11) Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni (1974), (12) Umang-Umang (1976), (13) Sondek, Pemuda Pekerja (1979), (14) Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984), (15) Ari-Ari atawa Interograsi II (1986), dan (16) Ozon atawa Orkes Madun IV (1989).
B.     Kajian Semiotik
        Pada analisis naskah drama Orkes Madun ini menggunakan kajian simbolisme dengan teori semiotik sebagai kerangka berfikir. Kajian simbolisme digunakan dengan pertimbangan kehidupan manusia tidak lepas dari perangkat simbolisme, sebab manusia adalah animal symbolicum.
        Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.
          Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg, 1984:44). Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaiutu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).
        Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri wacana yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119).
       ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.
        Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya).
Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian strukturalisme.
C.    Pendekatan Semiotik “melati putih” dalam naskah drama Orkes Madun Madekur Tarkeni karya Arifin C Noer
       Dalam naskah Drama Orkes Madun Madekur Tarkeni, Arifin C Noer ingin menceritakan sebuah kisah tentang tokoh utama yang bernama Madekur dan Tarkeni. Adapun yang pertama adalah simbol dan makna dalam naskah drama Madekur dan tarkeni meliputi Semar, melati hitam dan melati putih, Gurem, Borok, bulan, dan keranda. Disini saya akan membahas tentang kajian semiotik “melati putih” dalam naskah drama Orkes Madun Madekur Tarkeni. Fungsi simbol pada naskah drama Orkes Madun adalah merangsang daya imajinasi pembaca.
        Bunga Melati lambang kesucian nan sederhana apalagi dengan warna putih dan bau harumnya. Karenanya bunga Melati sering dikaitkan dengan berbagai tradisi di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan salah satu spesiesnya yakni Melati Putih ditetapkan sebagai puspa bangsa, satu dari tiga bunga nasional Indonesia.
       Melati merupakan sekumpulan tanaman perdu yang dikelompokkan dalam gebus Jasminum. Bunga berbau harum yang menjadi lambang kesucian dan kemurnian ini terdiri atas lebih dari 200-an jenis yang tersebar di seluruh dunia. Beberapa jenis diantaranya telah dibudidayakan manusia.
        Tanaman dengan aroma wangi dan menjadi lambang kesucian dan kepercayaan pada pasangan ini berasal dari Asia Selatan dan tersebar hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tiap spesies memiliki habitat yang berbeda, namun secara umum melati menyukai habitat beriklim tropis pada daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.600 meter dpl.
       Bunga melati mempunyai berbagai manfaat mulai sebagai bunga tabur, bahan pembuatan minyak wangi, kosmetika, farmasi, karangan bunga, campuran teh hingga menjadi tanaman obat. Selain itu bunga melati juga sering menjadi alat pelengkap berbagai tradisi yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia seperti dalam upacara perkawinan. Eratnya berbagai tradisi di nusantara yang berkaitan dengan bunga melati tidak terlepas dari makna filosofis bunga melati yang melambangkan kesederhanaan. Ini terlihat dari sosok tanaman melati yang sederhana, tumbuh meliar dan mempunyai bunga yang kecil seakan melambangkan kesederhaan.
      Warnanya yang putih bersih serta tidak mencolok, bunga ini melambangkan kesucian dan keelokan budi. Bunga Melati mengeluarkan aroma harum yang lembut dan tidak menusuk hidung memberikan makna dan kesan lembut, nyaman, dan tenang. Di samping itu, tumbuhan ini dapat tumbuh dengan mudah tanpa membutuhkan perawatan yang rumit dan berbunga sepanjang tahun.
Dalam orkes madun 1 terjadi perdebatan tentang mawar putih dan mawar hitam. Kutipannya sebagai berikut.
Nah, biarkanlah saya mengumpamakan persoalan ini dengan dua tangkai bunga melati dan seorang gadis delapan tahun. Yang setangkai berwarna putih, sedang setangkai lagi berwarna hitam. Mula-mula sudah jelas gadis itu merasa heran dan sangat lama bertanya dalam hati kenapa ada setangkai bunga melati yang berwarna hitam, sekalipun sebelumnya dia tidak pernah merasa heran bertanya dalam hati ketika pertama kalinya ia melihat bunga melati berwarna putih.
Begitulah seperti yang saya bilang tadi bahwa gadis itu lama bertanya dalam hati, lama merasa heran. Tapi heran yang lama. Kemudian menjelma menjadi takjub dan akhirnya hati gadis itu tertarik ingin melati yang hitam. Begitulah ketika jari-jarinya yang lembut bergetar oleh kekaguman siap mematahkan melati hitam dari tangkainya, gadis itu tiba-tiba ingat bahwa rambutnya juga berwarna hitam. Selain itu ia juga ingat tidak seorang pun di Jatibarang yang menghias rambutnya dengan melati hitam, bahkan sekalipun perempuan yang ebrambut putih seperti neneknya.

AYAH & AYAH
Sebentar, sebentar. Lebih baik kamu singkatkan saja bicaramu. Bagaimana?

IBU & IBU
Kamu sendiri bagaimana? Kamu akan memetik melati putih atau melati hitam?

AYAH & AYAH
Seperti umumnya orang saya amemetik melati putih yang sudah pasti keindahannya.

IBU & IBU
Tapi kamu tidak tahu bahwa melatih hitam itu mempunyai warna putih di sebelah dalam dan malah di dalamnya ada sebutir berlian sebesar geraham saya yang tanggal beberapa tahun lalu

AYAH & AYAH
Mana mungkin! Lagi kamu tidak mengatakan hal itu sebelumnya.

IBU & IBU
Karena melati hitam itu belum jelas maka kemungkinannya tentu lebih luas.

MAD & TAR
Juga melati hitam telah saya petik ketika ayah memetik yang putih

AYAH & AYAH
Tidak bisa. Saya belum memetik, baru berniat memetik dan sekarang saya akan memetik melati yang hitam

MAD & TAR
Tidak bisa, yang hitam telah saya petik

AYAH & AYAH
Tidak bisa, yang hitam milik saya

MAD & TAR
Tidak bisa, luar bisaa harumnya

AYAH & AYAH
Ya Tuhan harumnya

AYAH &AYAH
Kurang ajar. Lepaskan melati itu

MAD & TAR
Ya Tuhan, harumnya

AYAH & AYAH
Lepaskan, bajingan.

MAD & TAR
Harumnya

AYAH &AYAH
Bajingan

IBU & IBU
Begitulah, siapapun pasti akan memilih yang terbaik. Tapi tahukah bahwa yang terbaik adalah melati putih?

MAD & TAR
Kalau begitu biarlah yang hitam untuk bapak.

AYAH & AYAH
Kamu jangan kurang ajar, nak. Melati putih itu telah saya petik.

MAD & TAR
Mana mungkin, padahal bapak baru saja berniat akan memetiknya. Tidak, pak. Biarlah yang putih buat saya.

AYAH & AYAH
Nak, golok di dapur Cuma sebilah dan itu milik saya

MAD & TAR
Biarlah bapak mengambil golok dan saya memetik melati putih

SANGAT TIBA-TIBA SEKALI, AYAH DAN AYAH MENGHUNUS GOLOK ITU DAN SIAP AKAN MEMANCUNG KEPALA MAD & TAR DAN IBU & IBU MENJERIT

IBU & IBU
Saya lupa memberitahu bahwa yang putih ada dua tangkai dan kesimpulannya kalian berdua sama-sama bersikeras menghendaki yang terbaik (Mendekati anaknya) nak, kamu ingin senang, bukan?

MAD & TAR
Senang sekali, bu.

       Dari naskah drama di atas antara ibu-ibu, ayah-ayah dan Madekur dan Tarkeni terjadi perdebatan dan saling memutuskan untuk memetik melati lebih dahulu. Pertama ayah-ayah dan ibu-ibu saling berebut untuk melatih putih, karena kita tahu bahwa putih melambangkan kesucian. Tetapi setelah ibu berargumen bahwa melati hitampun juga memiliki warna putih di dalamnya. Ayah-ayah menginginkan melati hitam. Ini artinya bahwa melati hitam melambangkan keburukan tetapi ada filosofi lain yang terdapat warna putih di dalam hitam. Sehingga dapat diartikan bahwa lambang putih disini mempunyai arti, meskipun luarnya buruk tetapi dalamnya baik. Tetapi ketika Tarkeni dan Madekur meminta untuk memetik melati putih karena yang hitam sudah dipetik ayah-ayah. Ayah-ayah tidak terima dan menginginkan melati putih kembali.
       Disini kita tahu bahwa Tarkeni dan Madekur sendiri menginginkan melati yang putih. Melati putih disini melambangkan bahwa putih berarti ketulusan dan kesetiaan antara Madekur dan Tarkeni. Diceritakan pula bahwa cinta tulus mereka terbawa sampai akhir hayatnya. Meskipun masa lalu keduanya kelam. Tetapi antara Madekur dan Tarkeni terjalin hubungan yang tulus dan setia. Jadi kesimpulannya bahwa makna melati putih disini adalah kesetiaan Madekur dan Tarkeni.










DAFTAR PUSTAKA
Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Pradopo, Rachmad Djoko. 1990. Beberapa Gagasan dalam Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: kanisius

Jumat, 23 Maret 2012

Iseng ikut adu talk "Nikah Tak Cukup Hanya Cinta" Habiburrahman El Shirazy dan Shinta Yudisia

Hari itu tanggal 18 Desember 2011, saya mengikuti seminar Habiburrahman El shirazy dan Sinta Yudisia yang diadakan Rumah Keluarga Indonesia di Convention Hall Suranaya Jl. Arif Rahman Hakim dengan tema menuju pernikahan tak cukup dengan Cinta dan Launching Sekolah Pra Nikah. Awalnya saya dikasih tahu mbak Qory, seorang akhwat yang saya kagumi dan telah menikah. Wah berbau pernikahan sepertinya menarik sekali dan tak ada habisnya tuk dibicarakan lebih lanjut.

Saya dengan PDnya datang pada hari itu seorang diri, karena teman saya sudah menikah jadi tidak akan mengikuti acara yang seperti ini. Saya sempat kaget juga tak disangka yang mengikuti edu talk sangatlah banyak dan semuanya Akhwat dan Ikwan. Sedangkan saya hanyalah seorang yang belum bisa dikatakan Akhwat hehehe.. Saya kesana memakai Jeans meskipun dress saya selutut dengan cueknya saya masuk begitu saja karena tidak ada seorangpun yang saya kenal. Niat cari tahu ilmunya, keinginan menjadi seorang akhwat dari dulu sudah ada tetapi saya masih tahu diri karena belum pantas dan saya ingin sekali memantaskan diri di hadapan Allah Amiiiiinnn. Setelah beberapa lama ada seorang akhwat yang duduk disamping saya, kita berkenalan dan saya sangat senang sekali, mbak yang bernama Vina itu sangat baik banget :)

Edu talk dari Ust Habiburrahman El Shirazy sama mbak Sinta Yudisia sangat menarik dan menginspirasi saya. Ternyata menikah tidak cukup dengan cinta?? bukankah sudah terbukti bahwa pernikahan orang tua zaman dulu tanpa pacaran? dan buktinya mereka langgeng-langgeng saja kan sampai kakek nenek? mbak Sinta Yudisia sangat bersemangat dengan pemikirannya yang cemerlang.. I like her :)

Diakhir acara, mbak Vina mengajakku tuk ikut sekolahnya, ehhmm Ok pikirku, dapat ilmu nikah ya lumayan lah. Di hari pertama perkuliahan sayang sekali saya tidak bisa hadir, karena saya dapat tugas dari sekolah menemani anak-anak English Holiday Program di Pare kediri. Sangat disayangkan, tapi syukur alhmadulillah saya mendapat soft copy materinya di akhir acara :). Jadi saya tidak perlu repot-repot untuk menfotocopy materi yang belum saya mengerti.

Berikut materinya..

Materi
Pertemuan Pertama
  • Ghazirah dan Penampilan
Pertemuan kedua
  • Psikologi Adam dan hawa Oleh mbak Nuri Fauziah S.Psi, M.Psi
  • Hak dan kewajiban Suami istri
Pertemuan Ketiga
  • Keputusanku sudah bulat untuk menikah
Pertemuan Keempat
  • dinamika Pernikahan oleh Ust. mudhofar
  • managemen keluarga dan Keuangan oleh Prof. Mukhtasor M.Eng, P.hd
Pertemuan Kelima
  • Kesehatan reproduksi
  • Kehamilan pertama
Pertemuan Keenam
  • Persiapan dan Walimatul ursyi
  • Proses dan persyaratan Pra Nikah











Senin, 19 Maret 2012

CITRAAN DALAM KUMPULAN PUISI PEMBAWA MATAHARI KARYA ABDUL HADI W.M

CITRAAN DALAM KUMPULAN PUISI PEMBAWA MATAHARI
KARYA ABDUL HADI W.M
By: Hikmah Oky Pravitasari
17 Maret 2012

        Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa yang padat, indah, dan kaya makna. Artinya ia dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih, terseleksi, atau melalui sensor yang ketat. Menurut Najid puisi adalah jenis sastra imajinatif yang mengutamakan unsur fiksionalitas, nilai seni, dan rekayasa bahasa. Puisi merupakan hasil ungkapan perasaan penyair yang dituangkan melalui kata-kata/bahasa yang sengaja dipilih penyair untuk mewakili perasaannya. Menurut Riffaterre (Pradopo, 1987: 12-13) puisi itu menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal dengan arti yang lain. Dari pengertian di atas, layaklah kalau pembaca sering mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan sebuah puisi. Sebab puisi adalah dunia kata-kata yang karakternya berbeda dibandingkan dengan karakter kata dalam tulisan-tulisan yang lain.
        Menurut Herman J. Waluyo dalam bukunya Teori dan Apresiasi Puisi (1995), secara garis besar, unsur/struktur puisi terbagi dalam dua macam, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Struktur Fisik, yaitu unsur-unsur yang langsung tampak pada fisik puisi, yang meliputi diksi, majas, rima, tipografi dan citraan. Kali ini saya akan membahas citraan dalam kumpulan puisi pembawa matahari karya Abdul Hadi W.M. Terdapat 28 kumpulan puisi Abdul Hadi yang terangkum dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari.
CITRAAN DALAM KUMPULAN PUISI PEMBAWA MATAHARI
        Untuk memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana, untuk membuat lebih hidup dan menarik, dalam puisi penyair juga sering menggunakan gambaran angan. Gambaran angan dalam puisi ini disebut citraan (imagery)
        Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan si penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indera penglihatan). Citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran.
Jenis/macam citraan (imaji).
1.   Citraan penglihatan (visual imegery)
       Citraan penglihatan adalah citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihatan (mata). Citraan ini paling sering digunakan oleh penyair. Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat. Dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari citraan penglihatan terdapat pada puisi berjudul Ketika Masih Bocah
Ketika masih bocah, rumahku do tepi laut
Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya
Menghalau malam dan bayang-bayangnya
Setiap kali ku lihat matahari menghamburkan sinarnya
Seraya menertawakan gelombang (Hadi, 2002: 1)
Dan ada beberapa citra penglihatan dalam beberapa puisi karya Abdul Hadi dalam yang berjudul Pembawa Matahari yaitu pada bait pertama
Pembawa Matahari
Piring-piring lokan itu pecah kembali
Membangunkan tubuh cahaya dan si bocah
Muncul lagi di pantai, mendirikan menara
Dan gundukan pasir dan serakan-serakan kerang
Namun diterbangkan oleh siang
dan diterbangkan ke udara (Hadi, 2002: 14)
citraan penglihatan juga terdapat pada puisi Fragmen, terlalu Sering, Nukilan dari Lagu Syeh Siti Jenar, menjenguk rumah, Kertanagara. Dalam puisi berjudul Fragmen di jelaskan citra penglihatan terdapat pada paragraf pertama.
Setiap kali kupandang tepi laut yang riuh itu
Dan di jendela matahari telah menggerek
Bendera-bendera yang seakan keemasan
Dengan taring-taring api dan sepi yang menyala (Hadi, 2002:16)
Dalam puisi berjudul Terlalu Sering, citra penglihatan terdapat pada bait ketiga. Pada Nukilan Lagu Syeyh Siti Jenar terdapat pada bait kelima. Sedangkam pada puii berjudul Menjenguk Rumah citraan penglihatan terdapat pada bait kedua, yaitu:
Pohon mangga di halaman rumah,
tampak senantiasa lebat,mengirim cahaya
dan akar-akarnya yang bekerja keras
dalam kegelapan tanah dan dari
daun-daun serta rerantingnya (Hadi, 2002:44)
sedangkan citraan penglihatan yang lain terdapat pada puisi Abdul Hadi yang berjudul Kertanagara Fragmen Hari Akhir dan Aku Masuk .

2.   Citraan pendengaran (auditory imagery)
       Citraan pendengaran adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, dentum, dan sebagainya. Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga). Dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari citraan penglihatan terdapat pada puisi berjudul Pembawa Matahari, bait kedua dan keempat.
Sore itu aku duduk, membaca buku laut dan gelombang
Mendengarkan kisah dari jauh namun dekat
Bendera petang hampir kumal
Dan jarum hari mulai menjahit sepi
Membentangkan malam.
Nyanyian-nyanyian tak semerdu dulu lagi
Tapi masa kanak-kanakku memasang lagi telinganya
Hingga percakapan-percakapan butir pasir bisa terdengar
Bersama kegaiban ratusan malaikat (Hadi, 2002:44)
Puisi di atas jelas menggunakan citra pendengaran. Indera telinga yang digunakan penyair untuk menggambarkan suasana saat itu. Terdapat pula pada puisi berjudul Terlalu sering pada bait pertama dengan menggunakan pencritaan telinga, sehingga menambah indah bahasa puisi tersebut. Berikut kutipannya.
Terlalu sering kita dengarkan jam
Berkemas detik-detiknya
Entah kemana dan asing bisiknya (Hadi, 2002:18)
Dalam karya Abdul Hadi terdapat pula pencitraan pendengaran di pertengahan bait puisinya yang berjudul Kertanagara Fragmen Hari Akhir.
3.   Citraan perabaan (tactile imagery)
        Citraan perabaan adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indera peraba (kulit). Pada saat membacakan atau mendengarkan larik-larik puisi, kita dapat menemukan diksi yang dapat dirasakan kulit, misalnya dingin, panas, lembut, kasar, dan sebagainya.Dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari terdapat beberapa citra perabaan yaitu menemukan diksi yang berhubungan dengan perabaan. Seperti dalam puisi Ketika Masih Bocah pada bait keempat,
Arus begitu akrab denganku
Selalu ada tempat bernaung jika udara panas
Dan angin bertiup kencang
Tak banyak yang mesti dicemaskan
Oleh hati yang selalu terjaga
Pulau begitu luas dan jalan lebar
Seperti kepercayaan
Dan kukenal tangan pengasih Tuhan
Seperti kukenal getaran yang bangkit
Di hatiku sendiri (Hadi,2002: 2)
Dalam puisi di atas pencitraan yang dikemukakan tidak hanya pencitraan perabaan saja, tetapi juga citra penglihatan dan perasaan. Pada kalimat pulau begitu luas dan jalan begitu lebar menjelaskan bahwa pulau dapat dilihat ukurannya yang begitu luas dan lebar. Dalam puisi menjenguk rumah terdapat jiga citra perabaan pada bait ketiga.
Ya aku pernah tumbuh bersama
Tunas-tunas ini, bersama dahan-dahan barunya (Hadi, 2001:44)
4.   Citraan penciuman (olfactory)
        Citraan penciuman adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera penciuman. Citraan ini tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita seperti mencium sesuatu. Dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari belum ada citraan penciuman.
5.   Citraan gerak (kinaesthetic imagery)
        Citraan gerak adalah gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat juga gambaran gerak pada umumnya.
Dalam citraan gerak yang digambarkan oleh Abdul Hadi terdapat dalam beberapa puisinya dalam kumpulan puisi Pembawa Matahari yang berjudul Kembali Tak ada sahutan di sana,jalan ke pantai, sajak kelahiran pada bait ke-42, dan kartanagara pada hari akhir.
Kembali tak ada sahutan disana
Ruang itu bisu sejak lama
Dan kami gedor terus pintu-pintunya
Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun (Hadi, 2002:12)
Hal ini menggambarkan jika penyair menggunkan indera gerak untuk melukiskan puisinya.
Di langit mendung berarak
Dipandangnya segala yang cepat bergerak
Juga kemarau di sana
Kian menguak (Hadi,2002:66)
Pada bait di atas citraan yang digunakan yaitu citraan penglihatan dan gerak. Hal ini sangat berhubungan antara satu dengan yang lain.  selanjutnya pada pertengahan bait dijelaskan pula pencitraan gerak pada puisi yang sama
Dikamarnya
Kartanagara memeluk seorang yogini
Montok, buah dadanya rapat
Dengan jepitan yang garang
Dan siap telanjang
Tiba-tiba ia berbisik pada dirinya sendiri
Seraya mengecup bibir betinanya (Hadi, 2001:68)
Dalam bait di atas, penyair mengungkapkan citraan gerak dan penglihatan. Hal tersebut menambah daya pikat diksi dalam bahasa itu.
6. Citraan perasaan
Puisi merupakan ungkapan perasaan penyair. Untuk mengungkapkan perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambarkan dan mewakili perasaannya itu. Sehingga pembaca puisi dapat ikut hanyut dalam perasaan penyair. Perasaan itu dapat berupa rasa sedih, gembira, haru, marah, cemas, kesepian, dan sebagainya. Citraan perasaan dalam kumpulan puisi Abdul Hadi sangatlah menonjol. Terbukti pada puisi yang berjudul Jayakatwang, berikut baitnya;
Sajakku adalah setetes
Dari embunnya
Dulu aku pendosa, kini aku berdosa
Sebab berpaling kepada arah-Nya (Hadi, 2001:60)
Penyair menggambarkan bait di atas yang menandakan perasaan berdosa dan penyesalan. Citraan ini terdapat pula pada puisi Ketika masih bocah pada bait kedua menggambarkan suasana hati penyair pada saat itu.
Sebab itu aku selalu riang
Bermendung atau berawan, udara tetap terang
Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku
Kusaksikan semesta di dalam
Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu (Hadi, 2001:60)
Hal ini menggambarkan pada saat kecil, sang penyair merasa tetap senang meskipun sedang berkabung. Dijelaskan pula citraan rasa pada puisi berjudul Elegi pada bait kelima, Selain laut pada bait keenam menggambarkan kesedihan.

7. Citraan intelektual
        Citraan intelektual adalah citraan yang dihasilkan oleh/ dengan asosiasi-asosiasi intelektual. Dalam kumpulan puisi karya Abdul Hadi W.W sebagian besar puisinya mengandung citra intelektual. Sebagai contoh pada puisi Matahari dan Ka’bah (Lukisan Affandi)
Tujuh matahari bangkit dan mengoyak cakrawala
Tujuh puluh matahari, tujuh ratus nyala berkobar
Gurun dan wadi-wadinya bersimpuh
Kembang, pepohonan, unta, kemahpara kafilah
Api dan tenaga api
Sahabat, kita akan pergi kesana
Kita akan lebih hidup dari semula
Selakali langkah saja merangkum ribuan tata surya
Sekali sapuas puas
Dengan mata kalbu seorang sufi
Alamat yang tak dikenal akan datang sendiri
Dan membawa kita ke rumah-Nya
Atau kita culupkan disini saja
Derita dan kefanaan kita
Affandi, pemuja matahari
Yang mataharinya di Ka’bah
Yang mataharinya terbit dan terbenam dalam kalbu
Yang mataharinya lahir dan besar  dalam jiwa
Beranak cucu matahari
(Hadi, 2002:36)



DAFTAR PUSTAKA
Najid, M. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Nurgiyantoro, B. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Pradopo, Rachmad Djoko. 1990. Beberapa Gagasan dalam Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: kanisius

http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=5
8:pbin-4104-teori-sastra&Itemid=75&catid=30:fkip  diakses 12 Maret 2012-03-14